Aku menatap hujan dijendela kamar. Aku mengitungnya tetes demi tetes. 1000 tetes ternyata, tiba-tiba Mirza hadir dibelakangku, pakaiannya
basah kemudian dia tersenyum padaku dan berkata “2000 butir, kamu salah menghitung”. Aku tak peduli dengan kata-katanya, aku segera meraih handuk dan menyurunya untuk mengeringkan badan.
“Kebiasaan, main ujan-ujanan nanti
sakit gimana, terus kalau ibu tahu pasti dimarahin,” aku memasang muka jutek, dia malah tersenyum sebari tangannya menggosok-gosokan handuk dikepalanya.
“Kalau aku sakit ya enak biar
dirawat sama kamu,”
“Aku mana sempet merawatmu, lagian mana aku mau,”aku masih
memasang muka yang asam.
“Ekh, kamu selalu salah menghitung
hujan, kamu tidak pandai untuk urusan yang satu ini,”
“Kamu yang salah, tadi itu ada 1000, kamu
kan gak ngitung mana kamu tahu,” kataku sambil menyodorkan teh hangat.
“Aku kan ujan-ujanan jadi aku tahu ada
berapa tetes hujannya, dataku lebih akuratkan? Dari pada data yang kamu dapat
hanya dibalik jendela,” Mirza masih keukeuh dengan argumennya.
“Kamu tidak mau ngalah, ya terserah
kamu saja,”
“Eits, hujan itu hidupku, mana mau aku
menyerah padamu untuk mempertahankan hujan,”
“iyah, aku tahu,” Aku pergi
meninggalkannya yang masih sibuk dengan teh manis hangat.
Hujan terus mengguyur kota Kembang ini,
hujan yang dirindukan oleh semuanya. Hujan yang dinanti selama satu tahun.
Bahkan ada sebagian masyrakat solat istisqa untuk meminta hujan pada yang kuasa. Namun semua akan tiba pada waktunya, hujan
akhirnya turun.
Tanpa hujan, sumur kekeringan, air satu
gelas saja begitu berarti. Air ibarat emas yang hanya bisa dibeli oleh
orang-orang kaya. Mereka yang berpenghasilan pas-pasan tidak bisa memebelinya. Hujan seperti berkah pada hari ini, semua
bersujud atas turunnya hujan.
Dan akupun begitu merindukan menghitung
hujan. Bulir-bulir air itu laksana permata yang akan aku hitung.
Aku tak bosan menghitung hujan, ini
hobyku sama seperti Mirza, tapi Mirza akan selalu bilang aku selalu salah jika
menghitung hujan, dia yang merasa paling benar jika menghitung hujan. Aku tak
peduli bagiku yang penting adalah menghitung hujan.
Aku tak mau diganggu jika sedang
menghitung hujan, ini momen yang indah bagiku. Jangan tanyakan bagaimana
caranya menghitung hujan, hanya aku dan Mirza yang tahu, dan yang pasti ini rahasia kami berdua. Kami tak mau membocorkannya pada
siapapun, kami takut kalian akan punya hobby yang sama dengan kami menghitung hujan.
Hujan pertama ini berkah, keesokan
paginya aku meendapat telpon dari bule, ibunya Mirza di kampung. Bule bilang
ada pesta merayakan hujan dikampung, semuanya membuat tumpeng dan akan berdoa
ditengah lapang. Ini pertanda baik, semua penduduk kampung sudah bisa bercocok
tanam lagi.
dan kekeringan akan berakhir. Aku
senang mendengarnya dan penasaran dengan upacara hujan ini, seperti apa? Apakah
akan lebih indah daripada menghitung hujan? Mirza tak pernah cerita ada pesta
hujan, aku berniat ingin pergi kekampung Mirza melihat pesta hujan.
“Bu, aku ingin pergi kerumah bule, aku
mau melihat pesta hujan”aku mengutarakan keinginanku dan berharap ibu
mengijinkanku.
“Pergi sama siapa, Mirza ikut?”
“Gak tahu, aku belum nanyain sama
Mirza,”
“Kamu masih saja penasaran dengan
hujan, sudahlah berhenti mengagumi hujan,”
“Hujan itu rahmat dari Allah bu, gimana
aku gak kagum sama hujan, ibu bisa rasakan sendiri setahun kemarin tanpa hujan,
gimana rasanya? Kering, mau mandi susah. Untung bu kita punya uang jadi bisa beli
air. liat petani-petani di desa sana gagal
panen karena gak ada hujan,”
‘Iya, ibu juga tahu. Tapi hujan juga akan jadi musibah,”
“Lah, itu ya tergantung sama manusianya
bu. Semua yang dari Allah itu rahmat, hanya saja akan jadi malapetaka ketika
sudah nyampe ketangan manusia tang
salah,”
“iya, wah kamu makin ngerti masalah
yang seperti itu,”
“Aku kan sekolah bu. Aku juga diajarin sama ibu untuk peka terhadap lingkungan, dan bersyukur
sama rahmat tuhan,”
“ya nduk,”
“Jadi gimana boleh gak aku melihat pesta
hujan,”
“Ya terserah kamu, udah gede udah bisa
jaga diri, sing penting kamu hati-hati salamin sama bulemu, ibu udah kangen
sebenanya sama bule, tapi kerjaan ibu disini banyak to,”
“Iyo ibu, ah ibu ya kalo yang dipikirin kerjaan ya gak akan selesai sampai
kapanpun juga. Aku yakin bule pengen ketemu ibu
si mbah juga, udah lama ibu gak nengok si mbah,”
“Nanti ibu pasti akan luangin waktu. Dengan kamu kesana juga kan sama dengan
pengganti ibu,”
“Yo beda bu, anaknya si mbahkan ibu bukan
aku. Mana bisa sama,”
“Nduk, udah makin pinter aja kamu. Yowis ibu lagi males berdebat, kapan kamu mau berangkat ke Wonogiri?”
“Lusa bu. Besok aku mau pesen tiket keretanya
dulu,”
***
Muka berseri terpancar dari semua warga
yang hendak merayakan hujan. Kemarin saat aku berjalan melewati kampung,
sawah-sawah yang mengering mulai digarap lagi. Tenaga para petani itu akan
mengubah butiran-butiran tanah menjadi padi-padian yang kemudian akan terhidang
dimeja.
Terkadang aku berpikir perjalanan nasi
menuju meja makan ternyata sangat panjang. Pertama dia hanya sebutir padi yang
kemudian disemai oleh pak tani, setelah disemai padi itu tumbuh menjadi bibit
yang siap ditanam disawah yang subur, dan sebelumnya telah melewati proses
pembajakan.
Setelah ditanam padi tersebut harus
dirawat dengan baik, diberi pupuk supaya subur dan melimpah, jika hasilnya
melimpah kita semua tidak akan kelaparan. Setelah ditunggu berbulan-bulan padi
itu matang dan siap dipanen, para petani semangat melihat tanamannya dipanen.
Setelah dipanen tentu tak akan langsung jadi nasi yang siap disantap diatas
meja.
Padi itu masih harus melewati proses pengeringan dan masuk mesin
penggilingan agar menjadi beras, selesai jadi beras baru bisa dinanak menjadi
nasi yang tersaji diatas meja.
Hari ini aku menemani bule
kepasar untuk berbelanja keperluan nanti malam.
Bule membeli bermacam-macam keperluan
seperti ayam kampung, dan beberapa makanan ringan.
“Untuk pesta hujan harus nyiapin
serepot ini ya bule?”
“Iya, ini rasa syukur kita sama gusti
allah hujan udah turun. Segini ga seberapa nduk, dibandingkan dengan
rahmatnya,”
“Bukannya musyrik ya bule kalo kita kayak
beginian,”
“Lah, musyrik gimana?”
“Iyah nantinya inikan dijadiin sesajen
kan bule?’
“Yo ndak toh nduk, bule beli ini
bukan untuk sesajen, tapi untuk dibagikan pada
tetangga dan yang datang dipesta hujan nanti,”
“Oh, aku kira ini untuk sesajen yang akan dikasih ke mbah apa gitu,”
“Walah ndok, jaman sekarang teknologi
udah maju, walaupun bule tinggal dikampung tapi kan bule juga ngikutin
perkembangan jaman,”
“iya bule, emang gaul”
Bule Darmi hanya tersenyum.
“Kita beli apa algi bule?”
“Beli sirih buat si mbahmu,”
Aku tak sabar ingin menyaksikan pesta
hujan ini, rasanya jika bisa aku ingin cepat memutarkan waktu. Ketika sedang membantu bule menyiapkan
makanan untuk pesta hujan, tak lama hujan turun aku segera ke jendela dan duduk melakukan ritualku menghitung hujan.
“Nduk, lagi opo toh?”
“Menghitung hujan bule,”
“Kamu ini sama kayak Mirza, punya hobby
kok menghitung hujan?”
“Seru bule.kalo bule udah nyoba pasti ketagihan,?
“Walah, nduk kayak bule gak punya pekerjaan
lain aja harus menghitung hujan. Kalo ngitung duit bule mau,”
“Akh bule. Duit aja,”
“Lah iya toh
ndok, namanya orang hidup perlu duit. Orang-orang berlomba-lomba pengen duduk
dikursi dewan, yang dicari apa? Yo duit toh?”
“Bule ngerti politik, aku sih ngertinya
hujan aja,”
“Yo uwis bule nyiapin dulu buat pesta hujan,
kamu siap-siap gih,”
“Nanti bule setelah menghitung hujan,”
Aku melihat bule berlalu kedapur, tuhan
sepertinya tahu jika malam ini akan digelar pesta hujan. Hujan yang tadi begitu
deras kini seolah-olah dihentikan. Aku membantu bule membawa makanan ke aula desa. Disana telah banyak sesepuh yang siap berdoa
bersyukur kepada tuhan yang maha esa.
Setelah selesai solat isya doa tersebut
digelar, semuanya terasa khidmat menunduk dan sebagian mengucapkan amien.
Setelah doa selesai, semua boleh
memakan makanan yang disajikan. Banyak yang berebut dan terlihat lucu. Namun
ternyata pesta hujan tak cukup sampai disitu. Para pemuda dan pemudi desa menanpilkan tarian Bedaya Tumuruning
Wahyu Katresnan.
Tarian ini dibawakan oleh 12 penari, dimaan Sembilan penari merupakan penari
inti, dua penari membawa dupa dan seorang menjadi penembang.
Sedangkan untuk anak-anak
kecil bersolawat seperti sebuah
khasidahan mengucapkan salam kepada nabi Muhammad. Dan kembang api bersinar
diudara. Suara petasan menambah semarak pesta hujan.
Tak hanya itu, sebuah pementasan drama dibawakan juga oleh
sekelompok remaja yang tengah menginjak masa pubertas. Sebuah drama tentang
hujan.
Ada seorang yang menjadi raja hujan dan
awan. Raja hujan yang amat baik dan awan yang dendam. Terrnyata awan dendam
pada manusia yang selalu mengotorinya, namun raja hujan teramat baik sehingga
dia tidak mau mengabulkan permintaan awan untuk membalas dendam pada manusia.
Drama itu sangat keren, entah siapa yang mengonsep drama
itu, ternyata didesa kecil ini lebih peduli terhadap lingkungan. Pesta hujan
selesai jam 12 malam.
Aku puas dan tidak sia-sia melihat
pesta hujan ini. Malam ini akupun tidur diiringi dengan nada rintikan hujan,
tapi karena ngantuk aku tidak bisa menghitung hujan kali ini.
Tak ada mentari pagi ini. Awan mendung,
entahlah kenapa. Aku malas beranjak dari tempat tidur namun bule
berteriak-teriak, hingga mengagetkan seisi rumah. Aku menghampirinya diruang TV.
“Kenapa bule, ada apa?”
“Coba nduk liat berita itu,”
Aku sontak kaget melihatnya. Ternyata
ramalan itu terjadi. Jakarta terendam. Tak ada yang tersisa, semuanya seperti
laut, gedung-gedung bertingkat itu kini tak ada, semuanya musnah. Liputan itu
diambil dari heli. Semua Warga diungsikan kedaerah terdekat diangkut
menggunakan pesawat karena tak mungkin memakai jalur darat. Tak ada Jakarta yang dulu yang menjadi incaran
para kaum urban. Semua lumpuh total, kesedihan tergurat dari wajah para
warganya. Ini semua terjadi karena semalam Jakarta diguyur hujan.
Tanggul-tanggul jebol. Bogor sebagai
kota serapan hujan tak mampu juga menampung hujan karena semuanya berubah
menjadi villa. Laut-laut Abrasi, selokan meluap Jakarta
kini lautan, gedung-gedung runtuh entah kenapa bangunan kokoh itu habis juga
oleh air.
“Bule, seharusnya mereka yang ada di Jakarta menghitung hujan dan mengadakan pesta hujan,”kataku pelan.
Bule hanya terdiam dan meneteskan air
mata, padahal tak ada sanak sodara disana.