Senin, 16 Desember 2013

Cerita dalam Kereta Menuju Surabaya

Sejatinya, hidup adalah sebuah perjalanan. Kamu akan menemukan dirimu dan tuhan dalam perjalanan. Kisah ini bukan kisah perjalanan sehebat Agustinus wibowo yang menyusuri perjalanan di negara-negara yang berakhir dengan nama Tan. 


Bersama Rudi dan para petugas Kereta sebelum kereta kembali berjalan
Bukan pula kisah hebat dua ransel yang memutuskan untuk berkeliling dunia dan melepaskan kenyamanan. Apalagi  sekeren kisah Marcopolo yang berkeliling dunia. Perjalanan ini perjalanan sederhana yang bisa dilakukan oleh siapapun.

Memutuskan untuk pergi ke suatu tempat bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang. Apa lagi hidup seseorang terikat oleh banyak hal, pekerjaan, kuliah, keluarga, pacar. Cobalah rehat sejenak dari rutinitas untuk melakukan sesuatu yang baru. Luangkan satu minggu untuk menikmati betapa Tuhan sangat pemurah pada kita, pada negeri kita. Menikmatinya tidak usah pergi jauh-jauh, cukup berjalan kemanapun yang ingin menjadi tujuan kita.

Bagiku memutuskan sesuatu itu tidak perlu berpikir panjang, seperti saat ini memutuskan untuk pergi ke Bromo cukup dengan obrolan singkat perjalanan dari Lembang ke Bandung bersama seorang teman. Jarak antara rencana dan hari H hanya dua minggu, tentu saja dalam dua minggu itu kita harus berkerja keras mencari kontak teman-teman dikota yang akan dikunjungi dan mencari dana yang mencukupi.

Tuhan selalu baik, apapun bisa terjadi atas ijinnya. Seperti dimudahkan semuanya berjalan dengan mulus, rezeki yang tanpa terduga.  Senin, 18  November tiket  kereta menuju Surabaya sudah berada ditangan.

Menunggu tanggal 22 November sangat tidak sabar, UTS yang dihadapi dilakukan dengan semangat karena ada hadiah menanti yaitu “sebuah petualangan sederhana”. Mungkin ini bisa dibilang menunggu sebuah tujuan kata seorang teman. Aku sendiri tidak mengerti apa itu menunggu tujuan yang pasti setiap hari harus dilalui dengan sabar agar segera menuju tanggal  22. Tanggal tersebut selalu diingat apa lagi ketika pesan tiket penjaganya pesan “jangan lupa tanggal 22 jam 5.30 ya.”  Aku hanya tersenyum dan menjawab “tentu saja masa lupa”.

Hari itu telah tiba. Setelah melewati tidur yang tidak begitu panjang karena harus packing dan membereskan beberapa urusan dunia dan  takut bangun kesiangan . pukul 4.00 alarm telah berbunyi males sekali untuk bangun. Dengan mata yang masih sedikit tertutup aku segera menyalakan lampu kamar dan bergegas kekamar mandi. Air yang dingin sudah begitu terbayang, tapi tidak ada pilihan selain merasakannya dan menikmatinya, beberapa hari kedepan mungkin aku akan rindu air yang dingin ini.

Setelah segala persiapan selesai aku sibuk menghubungi teman-teman yang akan mengantarkan kami ke stasiun. Susah dibangunkan apa lagi lewat sms. Tapi ya berdoa saja semoga mereka menepati janjinya.

Sudah hampir 15 menit menunggu dan tidak ada jawaban pasti aku dan Ega memutuskan untuk berjalan sampai menuju jalan raya dan naik taksi, daripada mengandalkan teman. Setelah sampai di jalan raya hpku berbunyi dan mereka siap mengantarkan kita. Tak lama Riki dan Dwi datang.

Jalanan tidak terlalu padat, hanya beberapa kendaraan umum yang melewatinya. Linggawastu sampai Kiaracondong hanya perlu waktu 15 menit.  Riki membawa motornya kencang karena takut terlambat, jika ketinggalan kereta perjalanan ini hanya menjadi sebuah angan dan penyesalan sama seperti Sangkuriang yang takut fajar datang dan cintanya hanya akan menjadi kenangan.

Mentari belum terlihat, tetapi kesibukan terlihat di stasiun Kiaracondong. Beberapa penumpang yang tengah antri memeriksaka tiketnya sebelum masuk dan para penumpang yang membawa barang-barang baru saja tiba sepertinya. Aku dan Ega segera mengantri dan memeriksakan tiket, setelah itu masuk dengan sedikit terburu-buru.

Ransel warna hitam yang menggantung dipundakku dan tentengan sekantong makanan membuat agak ribet. Dengan sedikit tergopoh-gopoh aku segera mencari kereta pasundan yang akan membawaku hingga 678 km. Walaupun sudah sering naik kereta kali ini aku kebingungan membaca gerbong mana yang akan aku tumpangi. Dengan percaya diri aku menuju gerbong nomer lima namun melihat tempat duduk no 14 sudah diisi orang lain, saat itu aku langsung bertanya kepada petugas kereta, harusnya aku menuju ke gerbong nomer 2.

Ternyata tempat dudukku ditempati oleh dua orang wanita paruh baya. Aku bertanya ibu itu duduk di gerbong nomer 2, tapi dia bilang di gerbong nomor 3, aku jelaskan bahwa ini gerbong nomor 2 si ibu sedikit tidak percaya kemudian pergi.

“ini bukan gerbong nomor 2” tanya penumpang di bangku sebelah tempat dudukku.

“iya ibu ini nomor 2,” jawabku singkat sambil menaikan tas yang aku bawa.

“takut salah,” tambahnya.
Tidak lama ibu yang tadi duduk di kursiku datang kemudian pindah tempat duduk. Sekarang yang duduk disana hanya aku dan Ega, dan berharap sampai Surabaya nanti memang hanya kami yg duduk disana.

Tut..tutt “  Kereta Pasundan dijalur 2 dengan tujuan akhir Stasiun Gubeng Surabaya akan segera diberangkatkan” kata salah seorang petugas yang diumumkan lewat pengeras suara. Kemudian perlahan-lahan kereta bergerak.

“berangkat”kataku pada Ega, kami kemudian berdoa semoga selamat hingga tujuan.
Perlahan-laha kereta menuju kearah stasiun Bandung kemudian bergerak meuju arah Cicalengka, dan meninggalkan Bandung.

Para penumpang tidak terlihat ramai. Hanya beberapa gelintir, kemudian para petugas kereta berhilir mudik menawarkan sewa bantal dan sarapan.
Kereta terus berjalan melewati persawahan, matahari perlahan-lahan keluar namun didalam terasa dingin, bahkan aku menggunakan jaket.

Ada yang berubah dengan kereta ekonomi yang aku tumpangi sekarang. Jika dulu tidak ada Ac kini ada, bahkan para pedagangpun tidak hilir mudik seperti dulu. Harganya? Tentu saja, tiket menuju Surabaya sekitar 55 ribu, itupun sudah di subsidi oleh pemerintah, jika tidak harganya 110 ribu.

Aku sibuk mengeluarkan botol minuman, kwaci dan biskuit. Sepagi ini belum terlalu lapar untuk makan nasi, untungnya aku membawa biskuit. Setelah itu aku mengobrol dengan Ega tentang rencana kita disana.

Kereta terus berjalan, pemandangan yang disuguhkan Tuhan begitu memikat hati. Apa lagi Bandung dikelilingi oleh gunug sehingga ketika hendak meninggalkan kota ini gunung-gunug tersebut namak jelas. Persawahan yang mengundak juga tak kalah indahnya. Inilah kelebihan naik kereta dibandingkan mobil, kita bisa menikmati pemandangan kecuali malam hari semuanya terlihat gelap.Kereta memasuki daerah Garut, perut mulai terasa minta diisi.aku mengajak Ega makan.

“Tuhkan apa aku bilang bawa nasi,”katanya sambil senyum-senyum karena sebelumnya aku bilang sama dia buat apa bawa nasi, tapi dia keukeuh dan bangun tidur langsung masak nasi lengkap dengan omelet, alhasil aku diledek terus sama dia.

Ternyata kami lupa membawa sendok. Tidak kehabisan ide kami meminjam sendok kepetugas kereta Api sebari memesan teh manis hangat biar ga terlalu malu.

St. Cirahayu tempat kereta kami berhenti
Selesai makan kami berdua sibuk masing-masing. Aku sibuk dengan handphone dan terus menatap keluar jendela sedangkan Ega terlihat tertidur.
Penumpang dipinggir tempat dudukku mengajak berkenalan. Namanya Ela dia beserta ketiga anaknya hendak berlibur ke Surabaya dan ada satu anak perempuannya lagi yang akan  menyusul. Dia bercerita tentang keluarganya dan usahanya. Katanya dia punya usaha cathering sedangkan anak-anaknya itu ada yg sudah bekerja dan ada pula yang masih kuliah. Aku bertanya tentang ayahnya.

“Sudah meninggal,”jawabnya data. Aku merasa bersalah dan meminta maaf tapi dia terlihat tidak tersinggung.

Kereta terus berjalan melewati stasiun-stasiun kecil. Tapi tidak lama berhenti di salah satu  stasiun, mungkin lebih tepatnya pos penjagaa. Aku berpikir mungkin saja ada kereta lain yang akan lewat, atau ada sesuatu sehingga harus berhenti, tapi para penumpang terlihat keluar gerbong. Penasaran aku mencari informasi dan bertanya kepada penumpang lain, ternyata ada kerusakan pada lokomotif.

Aku adalah orang yang tidak bisa menunggu dengan hanya berdiam diri. Aku turut keluar dan melihat-lihat sekeliling, mungkin saja ada sesuatu yang cukup menarik. Kemudian aku menemui masinisnya dan bertanya apa yang rusak.
Bagian Lokomotif yang Rusak

“ini neng lahernya, mau lihat itu,”katanya sambil menunjuk pada bagian yang rusak.

“Terus gimana pak?”

“kita menunggu bantuan dari Bandung, kalau dilanjutkan bahaya bisa-bisa anjlok,”ungkapnya.
“berapa lama,”
“tiga jam”

Aku kaget itu adalah waktu yang cukup lama. Aku lihat plang di stasiun tersebut dan bertulisakan “Cirahayu” kemudian aku mencoba bertanya kepada anak kecil yang mrupakan penduduk sekitar, “ini daerah mana?”

Warga di pinggir rel
“Tasik,” jawabnya. Aku cukup heran melihat mereka. Seumuran seperti itu seharusnya mereka berada di bangku sekolah tapi mereka malah asyik duduk dipinggir rel sambil merokok.

“kalian tidak sekolah?” tanyaku

“Tidak, dari sini jauh sekolahnya,”

“emangnya harusnya kelas berapa?”

“kelas 2 SMP” kata salah seorang anak yang badannya terlihat paling besar diantara yang lainnya.

“Tidak ada kendaraan?” aku selalu penasaran apa lagi menyangkut pendidikan. Dan aku teringat adikku mungkin saja mereka seumuran.

“Enggak teh, kita jalan kaki jadi aja males,”kata salah seorang anak. Aku hanya tersenyum dan kemudian menanyakan pedagang di sekitar situ. Si anak malah mau mengantarkan aku namun aku tidak langsung menyetujuinya aku menemui Ega terlebih dahulu.
O ya selain itu aku disana juga berkenalan dengan dua orang laki-laki namanya oo dan Rudi. Mereka hendak pergi ke Dieng. Awalnya kami meminta tolong mereka untuk memotret aku dan Ega, tapi kelamaan kami berfoto bersama dan ngobrol banyak.
Rudi, Ega, Aku dan Oo

Ega setuju untuk pergi kewarung, begitupun oo dan Rudi. Warungnya tidak terlalu jauh terlihat jelas dari tempat pemberhentian kereta. Aku dan Ega memesan white coffe sedangkan Rudi memesan kopi susu. Oo tidak memesan apapun.
Aku meminta ijin pada pemilik warung untuk menunpang ke toilet,
“Disini kamar mandinya ga didalem neng, coba kebawah disana ada pancuran,”katanya
Kemudian aku turun dan memang benar ada pancuran semacam pemandian jaman dahulu. Yang dibuat diatas kolam kemudian penghalangnya menggunakan bambu yang dianyam. Aku celingukan apa lagi disana ada bapak-bapak yang sedang membersihkan kolam, aku balik lagi dan mememinta anter Ega.

Aku sedikit ragu untuk buang air kecil disana,  takut terlihat. Di sana ada tiga kolam kolam yang pertama sedang dibersihkan oleh dua orang laki-lakikra-kira umurnya sekitar 40an. Aku dan ega memilih kolam yang atasnya, ada satu lagi kolam tapi itu kejauhan. Saat kesana ada wanita berumur 60an sedang mencuci baju.
“Punten emak, ngiring kacai (maaf, emak ikut ke air)” kata ega.
“mangga neng,” katanya.
“Aku jagain,”kata Ega.
Walaupun ragu tidak ada pilihan lagi. Kemudian si emak tersebut betanya kami dari mana dan sedang apa.
“Ti Bandung emak, tapi keretana rusak jadi ngantosan heula,” ( dari Bandung emak, tapi keretanya rusak jadi nunggu dulu) aku mendengar percakapan si emak dan Ega.

Setelah selesai giliran aku yang ngejagain Ega. Sambil ngejaga si emak tersebut terus bercerita bahwa dirinya pernah ke Bandung bersama suaminya. Dulu suaminya salah satu petugas kereta api. Kemudian dia bercerita juga bahwa dirinya adalah seorang dukun beranak.

Kemudian kami pamit sebelum pamit kami bersalaman, dan si emak memberikan petuah-petuah kepada kami.
“sok mangga neng teraskeun sing salamet sampe ka tujuan, sing sarukses. (Silahkan neng lanjutkan perjalanan, selamat sampai tujuan dan semoga sukses)” katanya.
Aku dan Ega mengaminkan. Itu adalah potret kecil dari budaya Indonesia yang ramah tamah. Walaupun baru saja kenal apa lagi orang yang tinggal di pedesaan tak sungkan mendoakan bahakan memberikan pertolongan.

Tidak hanya kami berempat sekarang yang mendatangi warung tersebut, penumpang lainpun sama hanya sekedar ngopi atau makan. Ini bagaikan rezeki yang tak terduga oleh pemilik warung. Ya masalah bagi kami tapi rezeki bagi dia. Pemilik warung terlihat sibuk melayani pesanan, ada yang memesan mie rebus, kopi dan lainnya aku kembali bergabung bersama OO dan Rudi, disana sudah ada beberapa petugas kereta api juga. Akhirnya kami mengobrol panjang lebar mulai dari protesku yang harga tiket mulai tahun depan mulai naik, pelayanan kereta hingga curhatan para pegawainya.

“Gak apa-apa lama juga, biar sampai Surabaya pagi” kataku, tapi pernyataan itu di protes oleh para pegawai kereta.


Petugas kereta yang manjat pohon Jambu
“gak enak di kita atuh neng, masa ga tidur sama sekali,” kata salah seorang petugas.

Ada yang menarik perhatian kami saat itu yaitu pohon jambu. Aku, Oo dan Rudi awalnya mendekati pohon tersebut tapi tidak ada yang memanjat. Tak lama dua petugas kereta datang dan salah seorang manjat dan aku juga kebagian jambunya.
Jambu-jambunya belum matang betul, tapi keseruannya itu yang menambah rasa nikmat pada rasa jambu tersebut.

“Kepada para pegawai Kereta Api beserta penumpang diharapkan segera naik. Lokomotif dari Bandung sudah tiba,” kata petugas melalui pengeras suara dari pos penjagaan.

“Asyiik, yukk ke kereta,” kataku mengajak teman-teman yang lainnya. Kami berjalan menuju kereta dan disana terliha lokomotif bantuan telah datang. Tidak lama sekitar pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan dan saat itu berpisah dengan Rudi dan Oo karena berbeda gerbong, mereka duduk di gerbong nomor 4.

Selalu ada hikmah didalam setiap kejadian. Akibat lokomotif yang rusak tersebut ternyata merubah perjalanan kami terutama didalam kereta atau mungkin ke depannya, karena tuhan selau punya rencana atas apa yang terjadi terhadap manusia.

Kereta kembali melewati rel-rel dan pemandangan yang tak jauh beda terus kami lewati. Sedikit bosan aku dan ega membuka kwaci dan mencoba mendengarkan musik. Sudah pasti kami akan terlambat sampai Surabaya, ada kepanikan didalam hatiku, bagaimana jika tidak dijemput, apakah mungkin nanti kami lontang-lantung tidak jelas di stasiun apa lagi ini kali pertama kami ke Surabaya bahkan alamat pasti teman kami tersebut tidak tahu. Dia tidak membalas sms.

Aku menyingkirkan pikiran itu dan kembali berpikir semuanya akan baik-baik saja, toh bukankah Tuhan selalu baik dan melindungi dimanapun dan kapanpun.

Kereta meleintasi perkebunan, persawahan atau perumahan begitu seterusnya. Pohon-pohon yang dilewati seolah-olah melambaikan dan mengatakan selamat tinggal. Jika sedang naik kereta aku ingat masa kecil, dulu aku paling senang melihat kereta di salah satu adzan di stasiun televisi, sampai-samapai aku menghitung gerbongnya, entah dulu tidak terpikirkan bagaimana rasanya naik kereta. Jika satu atau dua jam pasti menyenangkan namun berbelas-belas jam seperti menjadi tua dijalan.
Tineu dan Si bapak

Kereta pasundan sampai di stasiun Banjar. Penumpang yang naik dan turun hilir mudik terlihat. Tak lama ada serang perempuan yang bertubuh agak gempal menuju tempat duduk kami, Ega otomatis pindah duduk kesampingku. Kemudian ada seorang laki-laki yang erkulit legam menghampiri kursi tempat si ibu dan ketiga anaknya tersebut, tapi serasa menjadi pemilik kereta si ibu malah meyarankan si bapak itu untuk duduk di kursi dekat kami. Jadi kursi tempatku sekarang penuh.

Akhirnya kami berkenalan dengan mereka. Yang perempuan tersebut namanya Tineu, dia dulu kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogya dan bau saja lulus. Sedangkan si bapak itu namanya aku lupa karena aga susah menyebutkannya. Kami mengobrol panjang lebar dan mengeluhkan insiden yang terjadi pada kereta. O iya aku lupa akibat insiden kecil itu kami dibagikan roti dan air mineral.


Tineu menjadi orang yang akan menjadi ceritaku di perjalanan selanjutnya. Dan perkenalanku degan si bapak itu tidak hanya selesai sampai disitu. Kereta terus berjalan matahari mulai akan meninggalkan bumi. Senja dikereta ternyata menyimpan cerita, sang surya perlahan-lahan tenggelam dan semburat cahaya kekuningan bagai telor rebus setengah matang itu keindahan yang tiada tara. Aku bersyukur kepada Tuhan masih diberikan kesempatan menikmati senja dan diatas kereta.aku mencoba mengabdikannya lewat kamera Hp tapi sayangnya tidak terlalu bagus.

Adzan maghrib berkumandang kereta kami sampai di stasiun Lampuyangan. Tineu berpamitan untuk turun kami berpelukan dan berdoa semoga bisa berjumpa lagi.
Ibu Ela, si Bapak, Tineu dan Petugas serta aku

Tak lama penumpang lainpun masuk, sepasang kekasih mendekati kami, si bapak yang duduk didepanku terpaksa harus pindah tempat tapi dia malah diusir oleh ibu Ela, dia menyuruh si bapak itu mencari tempat duduk yang lain. Kami agak kesal seharusnya dia mendapatkan hak tempat duduknya tapi karena keegoisan si ibu itu dia yang harus mencari tempat duduk yang lainnya.

Setelah kereta berjalan kembali aku mondar-mandir ke kereta makan kemudian melihat mesin kereta. Di kereta makan terasa banget kencangnya kereta berjalan, selain itu aku masuk ke tempat masak ternyata makanan yang disajkan itu tidak dimasak disana tapi udah dimasak sebelumnya kemudian dimasukan ke microwafe.
“Mau nyoba masak?” kata kokinya
“enggak akh, mau lihat aja”
“gini nih cara masaknya,”

Si koki sibuk memasukan nasi goreng ke microwafe dan menyeduh pop mie. Aku hanya membuatnya agak ribet saja, kemudian keluar.

Aku dan Ega membawa pop mie kami dan meminta air ke dapur tak lama ketika sampai solo kereta kami kembali berhenti karena harus mengisi air.

Kami memnafaatkannya untuk berjalan-jalan disekitar kereta, dan disana bertemu kembali dengan si bapak yang duduknya depan kami itu kemudian kami meminta nomernya agar silaturahim tetap terjalin. Lama ternyata kami kembali duduk dpinggir kereta dan sebelah segerombolan laki-laki yang entah mau kemana, agak risih mereka menggodai kami untungnya di seberang ada para petugas kereta dan memanggil kami suapaya kesana, tanpa pikir panjang aku dan ega mendekati mereka.

“Mau minum apa?” kata bapak Supari.

“Aku Nutrisari aja, kamu apa?”

“Pop ice,”


Ega, pak Sapardi Koko Kiki 
Setelah itu dipesanin ke si ibu warung sepertinya itu warung langganannya karena mereka tampak akrab. Bapak Supari menyarankan kami untuk pindah tempat duduk di gerbong makan. Kami setuju, setelah kereta akan melanjutkan perjalannannya lagi kami segera memindahkan barang-barang kami. Di Gerbong makan suasana sangat hangat, kami mengobrol banyak dan berfoto. Disana ada seorang laki-laki keturunan tionghoa yang duduk. 
Umurnya sekitar 40an bmungkin lebih. Kulitnya putih dan memakai kaca mata, namanya Kiki kami memanggilnya Koko. Ko Kiki bercerita banyak tentang pengalamannya ke Bali dan ke tempat lainnya, itu menyebabkan kami nambah tergiur untuk pergi kesana. Ko Kiki memiliki usaha perkayuan, jelasnya apa aku tidak terlalu mengerti. Namun setelah itu kami bertukar nomor lagi mungkin suatu hari dia akan main ke Bandung dan bisa bertemu kami.

Pak Supardi baik sekali dia memberikan kami bantal tanpa sewa begitu juga kepada ko Kiki,dan menyarankan kami untuk turun di Stasiun Kota saja agar tidak terlalu takut karena mereka beristirahat disana. Pak Supardi juga terus mengingatkan kami agar terus menghubungi teman kami itum dan menyuruh kami istirahat. Karena cukup lelah aku tertidur pulas, tak lama pak Supardi membangunkan katanya sebentar lagi kereta kami sampai di st. Gubeng aku melirik jam di Hp hampir jam 1 aku segera sms teman yang akan menjemput lagi-lagi tdak di bls. Aku menelponnya dan tidak diangkat.

Kami tidak tidur lagi kemudian kami sampai di st. Gubeng. Aku dan Ega berpamitan pada petugas kereta semoga berjumpa lagi. Koko Kiki ikut turun juga. Setelah turun aku menunggu jemputan di deket petugas kereta karena takut. Masih saja blm ada kabar aku dan Ega bingung bagaimana kalau tidak di jemput?
Aku melihat koko kiki sudah di jemput kemudian berpesan agar kami hati-hati. O ya kami sudah menunggu di luar stasiun karena akan dikunci. Diluar dnegan muka yang capek kami terus menunggu dan mengubungi teman
Bersambung









My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...