Sang fajar mulai menampakkan dirinya.
Sudah bukan saatnya lagi terlelap dalam mimpi. Tidak ada kata bangun terdahului
sinar matahari, semuanya harus bergegas bangun pagi agar rezeki tidak
terdahului. Coba kau tengok sejenak pak tani yang sudah bergegas dengan cangkul
dipundak, siap mengolah tanah menjadi beras yang kau makan tiap hari.
Cahaya matahari menembus tetesan embun
yang berkemilau. Udara yang segar, tak ada bising kendaraan, apa lagi jalanan
yang semrawut. Dan anak sekolah lekas berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju
taman ilmu, sambil bercanda riang. Bagi mereka sekolah adalah harapan agar
menjadi orang besar nanti. Mimpi itu sederhana mereka hanya tak ingin jadi
petani yang panen 3 bulan sekali. Petani yang serba pas-pasan hidup di negeri
kaya ini. Walau katanya tongkat bisa jadi tanaman tapi tetap saja bagi petani
tongkat itu tak jadi uang yang bermilyaran.
Petani akan mendapatkan uang jika
mereka bisa panen. Namun berpanen itu butuh proses yang cukup panjang. Untuk
panen jagung misalnya, mereka butuh waktu hingga 3 bulan. lalu apakah makan
nunggu waktu tiga bulan? itupun akan untung jika harga jual sesuai dan bisa
menutupi biaya membeli bibit, pupuk, tenaga kerja dan lain-lain. Belum lagi
dijerat tengkulak, menjual hasil panen kepada tengkulak bukanlah hal yang aneh,
dan itu bukan pilihan. Saat para petani tidak ada modal para tengkulak itulah
yang menawarkan modal, sampai kebutuhan sehari-hari mereka penuhi. Hingga panen
tiba mau tidak mau petani tersebut harus menjual hasil panennya pada tengkulak.
Alhasil saat panen mereka hanya bisa menggigit jari.
Saat harga cabai mahal sampai ratusan
ribu misalnya, mereka tidak bisa menikmatinya, harusnya harga cabai tinggi
menguntungkan para petani. Tetap saja hidup mereka terjepit. Sekaya-kayanya
menjadi petani tidak akan sekaya para pejabat. Walaupun hidup mereka mandiri
karena tidak menggantungkan diri pada negara, berbeda dengan pegawai negeri
yang hidupnya tergantung pada gajih negara.Lalu siapakah pembela petani? Saat
harga pupuk naik misalnya, adakah mahasiswa yang dengan rela berunjuk rasa
membela mereka?
Hidup menjadi petani bukan pilihan
bagi sebagian orang. Saya masih ingat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar dulu, saat bu guru menyuruh menceritakan
cita-cita tidak ada teman-teman saya yang bercita-cita menjadi petani. Ada yang
bilang ingin jadi guru, polisi, tentara dan saya dulu ingin jadi pilot agar
bisa berkeliling dunia dengan pesawat. Namun seiring berjalannya waktu
cita-cita itu hanya sebatas cerita masa sekolah, sebagian besar teman-teman
saya sudah menikah dan memilih tinggal di desa, berpekerjaan yang sama dengan
orang tuanya. Mereka seolah pasrah dengan istilah “Buah yang jatuh, tidak akan
jauh dari pohonnya”
Lalu siapa yang akan melirik mereka?
Memperjuangkan kehidupan mereka agar bisa hidup layak. Lucu bukan jika petani
hidup miskin di negeri yang subur ini? Jika mereka boleh iri mungkin saja
mereka juga ingin punya hari petani, kemudian mereka datang berbondong-bondong
kekota menemui pemimpin mereka dan berkata :
“Bapak presiden, menteri, serta wakil kami.
Lihatlah kami yang hidup serba sesak di negeri kami yang subur ini. Lihatlah
kami yang harus mencangkul tiap hari tapi panen berbulan-bulan. Lihatlah kami
yang tidak pernah menuntut apa-apa. Kami tidak pernah meminta harga hasil panen
kami dinaikan, apa lagi minta gaji karena kami bukan pegawai. Namun betapa
mulianya kami yang bisa hidup mandiri. Kami tidak pernah menuntut
kesejahteraan, karena kesejahteraan bagi kami saat panen menguntungkan. Kami
tidak pernah menuntut asuransi jiwa karena bagi kami asuransi adalah punya uang
untuk membayar rumah Sakit dikala kami sakit. Jika kami sakit, kami tidak bisa
mencangkul, kami tidak bisa menanam dan kami tidak akan punya uang”
Itulah suatu kehidupan yang nyata.
Kehidupan yang harus kita rubah sebagai calon pemimpin masa depan. Jangan
sampai semua orang ingin berhenti dan pensiun jadi petani karena tidak
sejahtera. Dan dinegeri subur ini kita sudah tak memiliki petani lagi.
*Mentari sudah benar-benar bersinar.
Semangat pagi