Senin, 22 Juli 2013

Petani di Negeri Subur

Sang fajar mulai menampakkan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi terlelap dalam mimpi. Tidak ada kata bangun terdahului sinar matahari, semuanya harus bergegas bangun pagi agar rezeki tidak terdahului. Coba kau tengok sejenak pak tani yang sudah bergegas dengan cangkul dipundak, siap mengolah tanah menjadi beras yang kau makan tiap hari.

Cahaya matahari menembus tetesan embun yang berkemilau. Udara yang segar, tak ada bising kendaraan, apa lagi jalanan yang semrawut. Dan anak sekolah lekas berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju taman ilmu, sambil bercanda riang. Bagi mereka sekolah adalah harapan agar menjadi orang besar nanti. Mimpi itu sederhana mereka hanya tak ingin jadi petani yang panen 3 bulan sekali. Petani yang serba pas-pasan hidup di negeri kaya ini. Walau katanya tongkat bisa jadi tanaman tapi tetap saja bagi petani tongkat itu tak jadi uang yang bermilyaran.

Petani akan mendapatkan uang jika mereka bisa panen. Namun berpanen itu butuh proses yang cukup panjang. Untuk panen jagung misalnya, mereka butuh waktu hingga 3 bulan. lalu apakah makan nunggu waktu tiga bulan? itupun akan untung jika harga jual sesuai dan bisa menutupi biaya membeli bibit, pupuk, tenaga kerja dan lain-lain. Belum lagi dijerat tengkulak, menjual hasil panen kepada tengkulak bukanlah hal yang aneh, dan itu bukan pilihan. Saat para petani tidak ada modal para tengkulak itulah yang menawarkan modal, sampai kebutuhan sehari-hari mereka penuhi. Hingga panen tiba mau tidak mau petani tersebut harus menjual hasil panennya pada tengkulak. Alhasil saat panen mereka hanya bisa menggigit jari.

Saat harga cabai mahal sampai ratusan ribu misalnya, mereka tidak bisa menikmatinya, harusnya harga cabai tinggi menguntungkan para petani. Tetap saja hidup mereka terjepit. Sekaya-kayanya menjadi petani tidak akan sekaya para pejabat. Walaupun hidup mereka mandiri karena tidak menggantungkan diri pada negara, berbeda dengan pegawai negeri yang hidupnya tergantung pada gajih negara.Lalu siapakah pembela petani? Saat harga pupuk naik misalnya, adakah mahasiswa yang dengan rela berunjuk rasa membela mereka?

Hidup menjadi petani bukan pilihan bagi sebagian orang. Saya masih ingat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar  dulu, saat bu guru menyuruh menceritakan cita-cita tidak ada teman-teman saya yang bercita-cita menjadi petani. Ada yang bilang ingin jadi guru, polisi, tentara dan saya dulu ingin jadi pilot agar bisa berkeliling dunia dengan pesawat. Namun seiring berjalannya waktu cita-cita itu hanya sebatas cerita masa sekolah, sebagian besar teman-teman saya sudah menikah dan memilih tinggal di desa, berpekerjaan yang sama dengan orang tuanya. Mereka seolah pasrah dengan istilah “Buah yang jatuh, tidak akan jauh dari pohonnya”

Lalu siapa yang akan melirik mereka? Memperjuangkan kehidupan mereka agar bisa hidup layak. Lucu bukan jika petani hidup miskin di negeri yang subur ini? Jika mereka boleh iri mungkin saja mereka juga ingin punya hari petani, kemudian mereka datang berbondong-bondong kekota menemui pemimpin mereka dan berkata :

“Bapak presiden, menteri, serta wakil kami. Lihatlah kami yang hidup serba sesak di negeri kami yang subur ini. Lihatlah kami yang harus mencangkul tiap hari tapi panen berbulan-bulan. Lihatlah kami yang tidak pernah menuntut apa-apa. Kami tidak pernah meminta harga hasil panen kami dinaikan, apa lagi minta gaji karena kami bukan pegawai. Namun betapa mulianya kami yang bisa hidup mandiri. Kami tidak pernah menuntut kesejahteraan, karena kesejahteraan bagi kami saat panen menguntungkan. Kami tidak pernah menuntut asuransi jiwa karena bagi kami asuransi adalah punya uang untuk membayar rumah Sakit dikala kami sakit. Jika kami sakit, kami tidak bisa mencangkul, kami tidak bisa menanam dan kami tidak akan punya uang”

Itulah suatu kehidupan yang nyata. Kehidupan yang harus kita rubah sebagai calon pemimpin masa depan. Jangan sampai semua orang ingin berhenti dan pensiun jadi petani karena tidak sejahtera. Dan dinegeri subur ini kita sudah tak memiliki petani lagi.

*Mentari sudah benar-benar bersinar. Semangat pagi

Pergi Bersama Pagi

Aku hanya ingin bercinta dengan pagi. Saat mentari menyusup kedalam selimu tidurku, saat itu dia mencumbuku. Mengecup manis bibirku. Memelukku dengan damai, membuatku enggan bangun. Aku tidak ingin melewatkan saat-saat ini.

Pagi adalah waktu yang aku tunggu.  Menunggu pagi sangat panjang. Aku harus melewati malam yang menyesakkan dulu, karena aku  sangat rindu pada pagi. Rindu itu semacam perasaan yang menindih paru-parumu hingga kamu merasakan sesak dan sulit untuk bernafas. Menahan rindu itu  semacam melewatkan malam tanpa tidur panjang.

Aku hanya ingin terbangun jika mentari telah memasuki jendela kamarku. Saat itu dia akan menyapaku dengan hangat dan tulus.  Mungkin mereka berkata aku gadis pemalas karena bangun terdahului mentari. Tapi tahukah kalian aku hanya menunggu pagi.

Aku jatuh cinta pada pagi. Salahkah aku jatuh cinta pada pagi? Salahkah aku menunggu pagi? Bukankah cinta itu anugerah Tuhan? Dan pagi adalah ciptaan Tuhan yang terindah.
Saat pagi tiba, aku akan bangun dengan penuh harap. Aku akan bangun dengan kembali menyusun puzle-puzle impianku. Saat pagi tiba aku akan tersenyum padanya dan berterima kasih karena dia telah mengingatkan impianku. Saat pagi tiba dia yang akan berkata “kamu tidak boleh menyerah”

Aku benar-benar mencintai pagi. Jatuh cinta yang sangat besar. Aku tak tahu sebesar apa, apakah sebesar bola? Aku rasa lebih besar dari itu. Apakah sebesar istana? Aku tak tahu karena aku rasa lebih besar dari itu. Aku juga tak tahu mengapa aku suka pagi. Padahal pagi tidak seromantis senja. Bukankah jatuh cinta karena ketidak tahuan itu lebih tulus? Lebih murni?

Hari ini hari sabtu, pagi kembali menemuiku lewat hangatnya mentari. Dia menyelinap lewat jendela kamarku kemudian menyusup kedalam selimutku. Pagi mengecup pipiku. Aku tahu pagi datang, namun aku tetap diam, biarkan dia melakukan apa yang dia suka karena dia kekasihku. Salahkah sang kekasih melakukan itu pada kekasihnya.

Hari ini pagi ingin mengajakku pergi. Dia bilang didunia ini sudah tidak aman lagi. Dia bilang akan banyak monster yang mengacaukan dunia ini hingga pagi tidak akan sehangat ini. Dia tidak ingin melihat aku menangis karena tak ada pagi yang indah lagi. Pagi yang mencintaiku dengan tulus. Aku menganggukan kepala. Biarlah pagi membawaku kemana yang dia mau toh dia kekasihku.

Aku lebih percaya pagi, dia tidak bohong, dia tulus. Pernahkah pagi enggan menyapa? Pernahkah pagi lupa datang? Pernahkah pagi telat datang?  Itu sudah cukup untuk meyakinkanku mempercayainya. Karena aku suka pagi. Biarlah pagi membawaku ketempat terindah.

Jika suatu hari pagi tidak datang katakan saja dia sedang bersama kekasihnya, jangan ganggu dia. Kalian jangan marah jika pagi tidak datang. Bukankah kalian enggan pagi datang karena kalian harus kembali bekerja, bertemu dengan bos yang galak, dosen yang kiler, macet yang panjang.

Bukankah jika pagi tidak datang kalian akan tetap berada dibalik selimut, melewati hari-hari penuh mimpi indah. Bukankah kalian kadang mengutuk pagi karena kalian masih ingin terlelap. Jadi biarlah pagi menjadi milikku, biarlah aku bercinta terus dengan pagi.  Karena aku jatuh cinta pada pagi.


Selamat tinggal bumi. Kamu jangan marah padaku karena pagi pergi bersamaku. Kamu jangan marah jika pagi tidak menyapamu lagi. Pagi hanya bosan mendengar keluhan manusia yang mengisimu. Biarlah pagi bahagia bersamaku.

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...