Impian yang ketika kecil selalu saya tulis diatas kertas dibelakang buku pelajaran saya. Saat itu saya belum mempunyai blog, apa lagi sosmed. Saya menulisnya dibelakang buku pelajaran ketika guru sedang tidak masuk atau ketika belajar itu membosankan. Saya dulu belum mengenal kata impian, tapi cita-cita. Ketika kelas dua Sekolah dasar, guru saya memberi tugas untuk menuliskan cita-cita dan alasannya. Saya masih ingat aktu itu berdiiri didepan kelas dan membacakan cita-cita saya. Ingin menjadi pilot agar saya bisa berkeliling dunia dengan pesawat. Kemudian cita-cita itu terus terbenam didalam diri saya hingga kelas enam sekolah dasar. Saya memikirkannya, apa benar saya akan menjadi pilot, sepertinya cita-cita itu harus saya revisi saya tidak yakin sepertinya.
Tapi saya tidak mau jika kehilangan cita-cita. Saya harus hidup dengan cita-cita. Kembali lagi saya menulis cita-cita, saya juga masih ingat waktu itu saya ingin menjadi dokter, alsannya pun saya tulis dengan detail, mulai dari menolong orang dan terutama menolong keluarga saya. Waktu itu nenek saya sering sakit, karena menderita ashma, jika saya jadi dokter saya mungkin bisa mnegobatinya. Buku yang ada tulisan cita-citanya itu tetap saya simpan hingga saya masuk sekolah menengah.
Seiring berjalan waktu, saya merasa tidak memungkinkan dengan cita-cita saya untuk menjadi dokter, karena biaya kulaih di kedokteran tidk murah, saya juga bukan berasal dari keluarga yang kayak. Tapi saya ingin menyembuhkan nenek saya. Saya ingin mengobatinya, kemudian saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di keperawatan. Dan secara tidak sengaja saya membaca brosur sebuah sekolah menengah jurusan keperawatan.
Tapi siapa kira, lagi saya tidak melanjutkan kuliah di keperawatan, saya memilih melanjutkan kuliah di pendidikan. Mungkin sayaa akan jadi guru, mulia sekali. Dan tentang impian jadi dokter itu hilang seketika, saya melupakan impian itu. Saya tidak memperjuangkannya. Mungkin benar tentang pepatah menjadi dewasa itu melupakan impian, makanya menjadi dewasa itu menakutkan.
Tidak semua orang dewasa berani bermimpi. Dan ngomong-ngomong soal mimpi itu, aku masih punya impian besar yang masih aku tulis di dinding dekat cermin ketika aku kuliah duluu sekali. Disana aku menulis s2 di Luar negeri. Dan sekarang aku sangat percaya, impian itu tidak cukup hanya kamu yakini tapi perlu kamu perjuangkan. Ternyata tak sesederhana itu untuk memperjuangkannya, kamu perlu kekonsistenan, dan ini rasanya berat. Seperti sebuah istilah, mempertahankan lebih tak mudah dibandingkan dengan memulai, dan mengakhiri. Tapi sekarang aku sedang belajar konsisten contoh sederhanaya aku mulai yoga kembali dan mencoba apakah selama 3 bulan aku bisa terus yoga walau kadang malas. Lalu aku belajar bahasa inggris secara otodidak, karena taun ini aku harus bisa mempersiapkan untuk beasiswaku, dan yah aku mencoba mencatat semua yang bisa mengasah kekonsistenan, mungkin ngeblog ini akan aku konsistenkan kembali haha semoga ya.
*Jakarta menjelang pulang