Jumat, 06 Januari 2017

Goes To Malingping Part I



“Hidup itu memang sebuah perjalanan panjang, kita akan menemukan cerita-cerita indah didalamnya”

Mengakhiri akhir tahun ini dengan hal yang positif, mudah-mudahan ini adalah awal yang baik juga untuk awal tahun yang akan memulai cerita yang panjang. Cerita penutup tahun 2016 saya lalui dengan berkunjung ke Malingping, ini sudah saya rencanankan dari jauh hari.

Untuk menuju ke Malingping saya naik kereta ke rangkasbitung  dari stasiun Duri. Informasi yang saya dapat, kereta menuju Rangkasbitung berangkat jam 7.14 pagi,  sehingga saya berangkat subuh, untuk mempermudah saya menginap di tempat Teh Tantry yang juga akan menemani perjalanan saya.

Kita berangkat menuju stasiun duri dengan menggunakan Gocar dan memanfaatkan waze untuk menentukan arah, sebab kita sama-sama tidak pernah ke stasiun duri. Jalanan Jakarta pagi itu masih lengang, sebagian penduduknya sudah ada yang keluar kota untuk berlibur, atau masih dibalik selimut menikmati hari libur. Ah ini libur, siapa yang tidak menyukai libur?

Akhirnya kami sampai di stasiun Duri, namun sayangnya  arah yang ditunjukan waze adalah jalanan buntu, sehingga kami memutuskan untuk berjalan saja menuju ke stasiun, toh jaraknya hanya 450 meter,”Sekalian cari sarapan,” kata Teh Tantry. Aku mengiyakan dan kami mulai menyusuri pemukiman penduduk.

Daerah sekitar stasiun duri adalah pemukiman padat penduduk, serta sedikit kumuh. Bau air got dan gerobak sampah menyengat hidung kami, ini tentu saja mengurungkan niat kami untuk mencari sarapan. Setelah beberapa ratus meter berjalan, pintu stasiun tidak kunjung kami lihat, akhirnya kami bertanya kepada pedagang bubur,”lurus saja, melewati pasar nanti ada pintu sebelah kiri, kalian belok saja,”itu petunjuk arah yang kami dapatkan.
“Ada pasar, kita bisa cari sarapan disana,”

Setelah berjalan beberapa puluh meter, pasar yang ditunjukan oleh pedagang itu kami lalui, dan lagi pasarnya tidak sesuai yang kami bayangkan. Itu adalah pasar becek, ada beberapa pedagang ikan basah, ayam potong dan sayuran yang baunya campur aduk, saya dengan perut kosong sedikit merasa mual mencium bau ayam yang bercampur dengan bau ikan dan jenis lainnya.

Kita menemukan jalan menuju stasiun, namun jalan itu bukan pintu stasiun hanya rel kereta dan masih harus memasuki pasar lagi. Pasar yang kami masuki tidak seramai pasar sebelumnya, disini ada kios-kios berbagai pedagang kelontongan. Masih ada beberapa kios yang tutup dan pembeli tidak terlalu ramai. Kami memasuki beberapa lorong kios, hingga akhirnya menemukan jalan raya untuk menuju stasiun.

Jam masih menunjukanjan jam 6, masih ada waktu satu jam untuk mencari perbekalan selama perjalanan. Karena sesuai jadwal di tiket kita baru akan sampai di Rangkas sekitar jam 10.00. Kami menanyakan mini market terdekat stasiun, menurut informasi katanya ada didepan dan tidak terlalu jauh.

“Yakin mau jalan kaki? Aku sudah gak kuat apa lagi ranselnya berat”tanyaku pada teh Tantry.

“kita naik bajai aja yuuk,”

Ternyata  jarak minimarket tidak sedekat yang dikatakan, dan tutup. “kita beli diwarung aja,”ajakku.  Kami mendapatkan kios yang menjual makanan kecil, disana juga ada pop mie yang bisa diseduh. Kita kembali ke stasiun dan menikmati pop mie sambil menunggu kereta yang akan membawa kami ke Rangkas Bitung.

Setelah menunggu sekitar 45 menit kereta pun datang. Semua penumpang berdesak-desakan untuk masuk ke gerbong. Diluar ekspektasi ternyata penumpang kereta pagi itu banyak. Bahkan kami kebagian berdiri di dekat pintu kereta. Ini mengingatkan saya pada kereta ekonomi ke Jogja ketika kuliah. Kami masih tetap berusaha mencari celah untuk masuk ke tengah gerbong, sayangnya usahanya sia-sia.

“Ini nanti belum penumpang di stasiun yang lain loh, wah musim liburan rame begini yah,”ujar ibu separuh baya yang berada didekat kami. Sesekali kami duduk jongkok karena pegal berdiri. Kereta yang kami tumpangi adalah kereta ekspres dan hanya berhenti di beberapa stasiun saja. Setelah dari Duri, kereta berhenti di satsiun kebayoran. Penumpang masih terus naik, bahkan jumlahnya sangat banyak. Karena tempat kami berdiri itu merupakan jalan, saya didorong untuk masuk ke tengah gerbong, dengan susah payah saya mencari jalan agar bisa masuk.

“Mbak, ketengah lagi dong terus,”kata penumpang yang baru masuk.

“Permisi, permisi,”saya mencoba mencari celah.

“tuh mba kesana, ketengah,”ujar bapak separunh baya yang berdiri didekat kursi,

“lah, kenapa bapak gak ketengah juga, kok malah nunjuk saya, enggak mau kan geser  ke tengah,”entah kenapa saya tiba-tiba kesal dan tumben berani bicara begitu.

Dan bapak itu malah diam, malah menyuruh saya terus ke tengah gerbong. Saya ikutin aja dan mencoba membuka jalan. “Sini aja mba, tasnya biar enggak berat”kata salah seorang penumpang, saya menyerahkan ransel saya dan meminta dia untuk menyimpannya diatas  di tempat penyimpanan barang-barang.

“Duduk disini aja neng, kasian kalo perempuanmah, gak apa-apa yang sempit juga,”ajak seorang bapak-bapak yang usianya sekitar 50 tahunan, di bangku itu hanya untuk berdua, disebelahnya ada penumpang lain laki-laki usianya sekiatr 30an, lak-laki itu kemudian duduknya bergeser jadi saya bisa duduk disana.

“Terima kasih pak,”saya langsung duduk, yah alhamdulilah masih ada orang yang mau berbagi. Sambil duduk, saya mencoba membuka jejaring sosial dan berita apa aja yang sedang update.

Kedua penumpang disebelah saya itu asyik ngobrol dan seperti saudara, bahkan saya berpikir bapak itu adalah ayah laki-laki yang disebelah saya, sekilas obrolannya saya mendengar petuah-petuah pernikahan, tapi tiba-tiba bapak itu menanyakan nama pada penumpang disebelah saya,”Jang, nami the saha?(namanya siapa)”  Sontak saya berpikir, oke mereka belum kenal buktinya masih bertanya nama.

Yah, mereka hanya bertemu di kereta ini, dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Tapi obrolannya sangat hangat bahkan seperti yang sudah dekat. Ini adalah tradisi di Indonesia, kadang kita akan dekat dengan seseorang ketika sedang berada dalam angkutan umum. Meskipun naik kereta sendiri dan tidak ada yang kita kenal, bisa saja kita mendapatkan teman mengobrol yang asyik bahkan saya pernah sampai di traktir sama petugas kereta (Jadi rindu naik kereta jauh)

Kereta terus melaju melewati permukiman penduduk, kemudian berhenti di beberapa stasiun, dan penumpang semakin bertambah banyak, penumpang yang lainnya mengeluh karena kereta semakin sesak, pendingin ruangan juga jadi tidak berasa berfungsi sehingga keluhan panaspun terdengar jelas.

Setelah melewati tanggerang, pemandangan berubah menjadi persawahan yang hijau, warna langit tidak lagi kelabu tapi membiru. Sesekali terlihat kerbau yang sedang di gembala, dan penumpang anak-anak teriak teriak bahagia melihat kerbau, mereka menghitung jumlahnya.  Keluhan sesak sudah tidak terdengar lagi, kini semuanya sudah menerima bahwa naik angkutan umum yah memang begini. Ada yang tertidur nyenyak, tidak terganggu dengan teriakan anak-anak, dan kedua penumpang disebelah saya masih asyik ngobrol soal keluarganya.

Saya tetap tidak sabar untuk segera sampai di stasiun rangkas Bitung, sesekali saya bertanya pada yang lain, berapa lama lagi dan jawabannya masih lama. Sekitar pukul 10.30 Kereta tiba di stasiun Rangkasbitung, saya bergegas mengambil ransel dan menerobos penumpang agar bisa keluar, karena stasiun rangkas bukan stasiun terakhir pemberhentian kereta.

Teh Tantry sudah menunggu di luar dan kita memutuskan untuk mencari minuman dingin terlebih dahulu, karena merasa dehidrasi. Setelah memesan minum dan sedikit bernafas lega, kita mencari toilet di stasiun, sayangnya berbeda dengan stasiun di Jakarta toilet disini kotor bahkan enggak ada air, yah terpaksa deh menahan buang air kecil hingga bertemu dengan mini market. Dari stasiun Rangkas Bitung  menuju ke Malingping harus naik anggkot terlebih dahulu sampai terminal Mandala, barulah kita akan menemukan angkutan langsung ke malingping.

Sesampai di Mandala, kita langsung disambut sama orang-orang yang siap meraih tas kita dan menggiring menuju angkutannya, karena niatnya waktu itu mau ke minimarket dulu jadi punya alasan untuk tidak mengikuti mereka.

Setelah dari minimarket kita langsung mencari angkutan, karena langsung digiring kita naik angkutan yang  ada di barisan paling depan. Angkutan menuju Malingping ini berupa elf.  Setelah duduk sampai setengah jam angkutan itu tidak jalan juga, bahkan penumpang sudah penuh meskipun sudah duduk sempit-sempitan, kenek dan sopir masih aja membujuk calon penumpang agar mau naik.

“Sudah penuh pak, jalan dong”protes para penumpang, sayangnya protesnya ga didengar

“yah, bukannya jalan, sopirnya masa malah ngobrol,”kata penumpang di belakang saya,

“itu bukan supirnya kayaknya, paling juga calo,”timpal penumpang yang lainnya. Ternyata benar, orang yang ada dibalik kemudi tadi itu bukan sopir tapi calo. Tidak lama sopir aslinya datang, barulah mobil jalan.

Elf terus berjalan meninggalkan terminal Mandala dan memasuki daerah Labuan. Kemudian si kenek mulai meminta ongkos pada semua penumpang.

“Maaf bu kurang ini, tmabahin yah bu, ongkosnya naik ni sekarang jadinya 50 ribu,”kata kenek

“biasanya juga Cuma 30 ribu, kok naik kan bukan lebaran,”kata penumpang yang dimintain ongkosnya

“Saya setorannya dinaikin bu, mohon pengertiannya,”

“wah ini mah malak, kalau begitu,”protes ibu penumpang dnegan muka senewen.

Dan drama soal ongkos ini dimulai, semua penumpang protes karena ongkosnya naik hampir dua kali lipat. Bahkan ada penumpang yang memutuskan untuk turun dari elf itu. Saya member uang 100 ribu untuk berdua, karena menurut teman saya ongkosnya hanya 40 ribu, kalau mau tambahin 5 ribu.

“Kurang ini teh, 70 perorang jadi berdua 140” protes si kenek

“hah, mahal amat. Yaudah saya kasih dua puluh lagi nih,”kata saya

“yah, enggak bisa neng, kurangnya 40,”

“ni saya ga ada uang cash lagi adanya segitu, tuh lihat,”saya memeprlihatkan isi dompet yang sisanya hanya 15 ribu lagi.

“Yasudah gesek atuh neng,”

“yak sok, kalau disini bisa gesek ATM mah,”jawab saya. Mungkin dia paham kalau saya tidak punya uang cash dan enggak dimintain lagi.

Angkutan yang saya tumpangi terus berjalan melintasi daerah pandeglang, dan masuk ke daerah Saketi. Sarana di Banten sepertinya sudah baik, berbeda dnegan tiga tahun silam yang jalannya masih banyak yang bolong dan rusak. Saya melihat sekarang justru jalannya mulus dan baru, ada beberapa jembatan yang masih dalam tahap perbaikan. Oke saya dulu sempat mengutuk ratu Atut, mantan gubernur Banten karena jalanan yang rusak, sekarang saya memuji pemerintahannya.

Oyah drama soal ongkos tadi belum selesai ternyata, ketika memasuki daerah Bojong si kenek mendekati saya dan mengingatkan soal kurang ongkos, “Sampai malingping jangan lupa gesek ATM yah buat yang kurang tadi,”
“Hah, apaan kan udah ongkosnya tadi, kok masih ditagih. Mahal amat sih, saya aja kalau dari Jakarta ke kampung naik bus Ac jaraknya jauh Cuma 75 ribu ongkosnya, ini masa mahal banget,”

“coba the pake taksi berapa, pasti lebih mahal,”kata dia

“Ye kalo taksimah kenyamanannya beda,”jawab saya.

Tidak lama kemuadian elfnya berhenti dan ternyata mogok, sehingga kami di evakuasi ke elf yang lainnya. Dengan hati yang dongkol kami terpaksa pindah. Ketika udah duduk di elf yang kedua itu si kenek masih aja nongoll dari  jendela “jangan lupa gesek ya teh,”

Tapi akhirnya kita terbebas dari kenek yang rese itu, namun mobilnya ini aneh kenapa muncul asap dari belakangnya, awalnya saya pikir itu debu ternyata asap dan saya duduk dibelakang, sedikit ngeri bagaimana kalau tiba-tiba mobilnya terbakar.  Kenek dan sopir mengecek keadaan mobil yang berasap, ternyata knalpotnya bocor, sehingga tidak memungkinkan untuk terus melanjutkan perjalanan. Kami di evakuasi lagi ke mobil lain yang lewat, dan alhamdulilah mobilnya lebih bagus dibandingkan yang tadi.
Jam 14.30 kita sampai di Malingping, jadi total perjalanan yang kita tempuh sekitar 9,5 jam.

Bersambung

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...