“Hidup
itu memang sebuah perjalanan panjang, kita akan menemukan cerita-cerita indah
didalamnya”
Mengakhiri akhir tahun ini dengan hal
yang positif, mudah-mudahan ini adalah awal yang baik juga untuk awal tahun
yang akan memulai cerita yang panjang. Cerita penutup tahun 2016 saya lalui
dengan berkunjung ke Malingping, ini sudah saya rencanankan dari jauh hari.
Untuk menuju ke Malingping saya naik
kereta ke rangkasbitung dari stasiun
Duri. Informasi yang saya dapat, kereta menuju Rangkasbitung berangkat jam 7.14
pagi, sehingga saya berangkat subuh,
untuk mempermudah saya menginap di tempat Teh Tantry yang juga akan menemani
perjalanan saya.
Kita berangkat menuju stasiun duri
dengan menggunakan Gocar dan memanfaatkan waze untuk menentukan arah, sebab
kita sama-sama tidak pernah ke stasiun duri. Jalanan Jakarta pagi itu masih
lengang, sebagian penduduknya sudah ada yang keluar kota untuk berlibur, atau
masih dibalik selimut menikmati hari libur. Ah ini libur, siapa yang tidak
menyukai libur?
Akhirnya kami sampai di stasiun Duri,
namun sayangnya arah yang ditunjukan
waze adalah jalanan buntu, sehingga kami memutuskan untuk berjalan saja menuju
ke stasiun, toh jaraknya hanya 450 meter,”Sekalian cari sarapan,” kata Teh Tantry.
Aku mengiyakan dan kami mulai menyusuri pemukiman penduduk.
Daerah sekitar stasiun duri adalah
pemukiman padat penduduk, serta sedikit kumuh. Bau air got dan gerobak sampah menyengat
hidung kami, ini tentu saja mengurungkan niat kami untuk mencari sarapan.
Setelah beberapa ratus meter berjalan, pintu stasiun tidak kunjung kami lihat,
akhirnya kami bertanya kepada pedagang bubur,”lurus saja, melewati pasar nanti
ada pintu sebelah kiri, kalian belok saja,”itu petunjuk arah yang kami
dapatkan.
“Ada pasar, kita bisa cari sarapan
disana,”
Setelah berjalan beberapa puluh meter,
pasar yang ditunjukan oleh pedagang itu kami lalui, dan lagi pasarnya tidak
sesuai yang kami bayangkan. Itu adalah pasar becek, ada beberapa pedagang ikan
basah, ayam potong dan sayuran yang baunya campur aduk, saya dengan perut
kosong sedikit merasa mual mencium bau ayam yang bercampur dengan bau ikan dan
jenis lainnya.
Kita menemukan jalan menuju stasiun,
namun jalan itu bukan pintu stasiun hanya rel kereta dan masih harus memasuki
pasar lagi. Pasar yang kami masuki tidak seramai pasar sebelumnya, disini ada
kios-kios berbagai pedagang kelontongan. Masih ada beberapa kios yang tutup dan
pembeli tidak terlalu ramai. Kami memasuki beberapa lorong kios, hingga
akhirnya menemukan jalan raya untuk menuju stasiun.
Jam masih menunjukanjan jam 6, masih
ada waktu satu jam untuk mencari perbekalan selama perjalanan. Karena sesuai
jadwal di tiket kita baru akan sampai di Rangkas sekitar jam 10.00. Kami
menanyakan mini market terdekat stasiun, menurut informasi katanya ada didepan
dan tidak terlalu jauh.
“Yakin mau jalan kaki? Aku sudah gak
kuat apa lagi ranselnya berat”tanyaku pada teh Tantry.
“kita naik bajai aja yuuk,”
Ternyata jarak minimarket tidak sedekat yang
dikatakan, dan tutup. “kita beli diwarung aja,”ajakku. Kami mendapatkan kios yang menjual makanan
kecil, disana juga ada pop mie yang bisa diseduh. Kita kembali ke stasiun dan
menikmati pop mie sambil menunggu kereta yang akan membawa kami ke Rangkas
Bitung.
Setelah menunggu sekitar 45 menit kereta
pun datang. Semua penumpang berdesak-desakan untuk masuk ke gerbong. Diluar
ekspektasi ternyata penumpang kereta pagi itu banyak. Bahkan kami kebagian
berdiri di dekat pintu kereta. Ini mengingatkan saya pada kereta ekonomi ke Jogja
ketika kuliah. Kami masih tetap berusaha mencari celah untuk masuk ke tengah
gerbong, sayangnya usahanya sia-sia.
“Ini nanti belum penumpang di stasiun
yang lain loh, wah musim liburan rame begini yah,”ujar ibu separuh baya yang
berada didekat kami. Sesekali kami duduk jongkok karena pegal berdiri. Kereta
yang kami tumpangi adalah kereta ekspres dan hanya berhenti di beberapa stasiun
saja. Setelah dari Duri, kereta berhenti di satsiun kebayoran. Penumpang masih
terus naik, bahkan jumlahnya sangat banyak. Karena tempat kami berdiri itu
merupakan jalan, saya didorong untuk masuk ke tengah gerbong, dengan susah
payah saya mencari jalan agar bisa masuk.
“Mbak, ketengah lagi dong terus,”kata
penumpang yang baru masuk.
“Permisi, permisi,”saya mencoba
mencari celah.
“tuh mba kesana, ketengah,”ujar bapak
separunh baya yang berdiri didekat kursi,
“lah, kenapa bapak gak ketengah juga,
kok malah nunjuk saya, enggak mau kan geser
ke tengah,”entah kenapa saya tiba-tiba kesal dan tumben berani bicara
begitu.
Dan bapak itu malah diam, malah menyuruh
saya terus ke tengah gerbong. Saya ikutin aja dan mencoba membuka jalan. “Sini
aja mba, tasnya biar enggak berat”kata salah seorang penumpang, saya
menyerahkan ransel saya dan meminta dia untuk menyimpannya diatas di tempat penyimpanan barang-barang.
“Duduk disini aja neng, kasian kalo
perempuanmah, gak apa-apa yang sempit juga,”ajak seorang bapak-bapak yang
usianya sekitar 50 tahunan, di bangku itu hanya untuk berdua, disebelahnya ada
penumpang lain laki-laki usianya sekiatr 30an, lak-laki itu kemudian duduknya
bergeser jadi saya bisa duduk disana.
“Terima kasih pak,”saya langsung
duduk, yah alhamdulilah masih ada orang yang mau berbagi. Sambil duduk, saya
mencoba membuka jejaring sosial dan berita apa aja yang sedang update.
Kedua penumpang disebelah saya itu
asyik ngobrol dan seperti saudara, bahkan saya berpikir bapak itu adalah ayah
laki-laki yang disebelah saya, sekilas obrolannya saya mendengar petuah-petuah
pernikahan, tapi tiba-tiba bapak itu menanyakan nama pada penumpang disebelah
saya,”Jang, nami the saha?(namanya siapa)”
Sontak saya berpikir, oke mereka belum kenal buktinya masih bertanya
nama.
Yah, mereka hanya bertemu di kereta
ini, dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Tapi obrolannya sangat hangat bahkan
seperti yang sudah dekat. Ini adalah tradisi di Indonesia, kadang kita akan
dekat dengan seseorang ketika sedang berada dalam angkutan umum. Meskipun naik
kereta sendiri dan tidak ada yang kita kenal, bisa saja kita mendapatkan teman
mengobrol yang asyik bahkan saya pernah sampai di traktir sama petugas kereta (Jadi
rindu naik kereta jauh)
Kereta terus melaju melewati
permukiman penduduk, kemudian berhenti di beberapa stasiun, dan penumpang
semakin bertambah banyak, penumpang yang lainnya mengeluh karena kereta semakin
sesak, pendingin ruangan juga jadi tidak berasa berfungsi sehingga keluhan
panaspun terdengar jelas.
Setelah melewati tanggerang,
pemandangan berubah menjadi persawahan yang hijau, warna langit tidak lagi
kelabu tapi membiru. Sesekali terlihat kerbau yang sedang di gembala, dan
penumpang anak-anak teriak teriak bahagia melihat kerbau, mereka menghitung
jumlahnya. Keluhan sesak sudah tidak
terdengar lagi, kini semuanya sudah menerima bahwa naik angkutan umum yah memang
begini. Ada yang tertidur nyenyak, tidak terganggu dengan teriakan anak-anak,
dan kedua penumpang disebelah saya masih asyik ngobrol soal keluarganya.
Saya tetap tidak sabar untuk segera
sampai di stasiun rangkas Bitung, sesekali saya bertanya pada yang lain, berapa
lama lagi dan jawabannya masih lama. Sekitar pukul 10.30 Kereta tiba di stasiun
Rangkasbitung, saya bergegas mengambil ransel dan menerobos penumpang agar bisa
keluar, karena stasiun rangkas bukan stasiun terakhir pemberhentian kereta.
Teh Tantry sudah menunggu di luar dan
kita memutuskan untuk mencari minuman dingin terlebih dahulu, karena merasa
dehidrasi. Setelah memesan minum dan sedikit bernafas lega, kita mencari toilet
di stasiun, sayangnya berbeda dengan stasiun di Jakarta toilet disini kotor
bahkan enggak ada air, yah terpaksa deh menahan buang air kecil hingga bertemu
dengan mini market. Dari stasiun Rangkas Bitung
menuju ke Malingping harus naik anggkot terlebih dahulu sampai terminal
Mandala, barulah kita akan menemukan angkutan langsung ke malingping.
Sesampai di Mandala, kita langsung disambut
sama orang-orang yang siap meraih tas kita dan menggiring menuju angkutannya,
karena niatnya waktu itu mau ke minimarket dulu jadi punya alasan untuk tidak
mengikuti mereka.
Setelah dari minimarket kita langsung
mencari angkutan, karena langsung digiring kita naik angkutan yang ada di barisan paling depan. Angkutan menuju
Malingping ini berupa elf. Setelah duduk
sampai setengah jam angkutan itu tidak jalan juga, bahkan penumpang sudah penuh
meskipun sudah duduk sempit-sempitan, kenek dan sopir masih aja membujuk calon
penumpang agar mau naik.
“Sudah penuh pak, jalan dong”protes
para penumpang, sayangnya protesnya ga didengar
“yah, bukannya jalan, sopirnya masa
malah ngobrol,”kata penumpang di belakang saya,
“itu bukan supirnya kayaknya, paling
juga calo,”timpal penumpang yang lainnya. Ternyata benar, orang yang ada
dibalik kemudi tadi itu bukan sopir tapi calo. Tidak lama sopir aslinya datang,
barulah mobil jalan.
Elf terus berjalan meninggalkan
terminal Mandala dan memasuki daerah Labuan. Kemudian si kenek mulai meminta
ongkos pada semua penumpang.
“Maaf bu kurang ini, tmabahin yah bu,
ongkosnya naik ni sekarang jadinya 50 ribu,”kata kenek
“biasanya juga Cuma 30 ribu, kok naik
kan bukan lebaran,”kata penumpang yang dimintain ongkosnya
“Saya setorannya dinaikin bu, mohon
pengertiannya,”
“wah ini mah malak, kalau begitu,”protes
ibu penumpang dnegan muka senewen.
Dan drama soal ongkos ini dimulai,
semua penumpang protes karena ongkosnya naik hampir dua kali lipat. Bahkan ada
penumpang yang memutuskan untuk turun dari elf itu. Saya member uang 100 ribu
untuk berdua, karena menurut teman saya ongkosnya hanya 40 ribu, kalau mau
tambahin 5 ribu.
“Kurang ini teh, 70 perorang jadi
berdua 140” protes si kenek
“hah, mahal amat. Yaudah saya kasih
dua puluh lagi nih,”kata saya
“yah, enggak bisa neng, kurangnya 40,”
“ni saya ga ada uang cash lagi adanya
segitu, tuh lihat,”saya memeprlihatkan isi dompet yang sisanya hanya 15 ribu
lagi.
“Yasudah gesek atuh neng,”
“yak sok, kalau disini bisa gesek ATM mah,”jawab
saya. Mungkin dia paham kalau saya tidak punya uang cash dan enggak dimintain
lagi.
Angkutan yang saya tumpangi terus
berjalan melintasi daerah pandeglang, dan masuk ke daerah Saketi. Sarana di
Banten sepertinya sudah baik, berbeda dnegan tiga tahun silam yang jalannya masih
banyak yang bolong dan rusak. Saya melihat sekarang justru jalannya mulus dan
baru, ada beberapa jembatan yang masih dalam tahap perbaikan. Oke saya dulu
sempat mengutuk ratu Atut, mantan gubernur Banten karena jalanan yang rusak,
sekarang saya memuji pemerintahannya.
Oyah drama soal ongkos tadi belum
selesai ternyata, ketika memasuki daerah Bojong si kenek mendekati saya dan
mengingatkan soal kurang ongkos, “Sampai malingping jangan lupa gesek ATM yah
buat yang kurang tadi,”
“Hah, apaan kan udah ongkosnya tadi,
kok masih ditagih. Mahal amat sih, saya aja kalau dari Jakarta ke kampung naik
bus Ac jaraknya jauh Cuma 75 ribu ongkosnya, ini masa mahal banget,”
“coba the pake taksi berapa, pasti
lebih mahal,”kata dia
“Ye kalo taksimah kenyamanannya
beda,”jawab saya.
Tidak lama kemuadian elfnya berhenti
dan ternyata mogok, sehingga kami di evakuasi ke elf yang lainnya. Dengan hati
yang dongkol kami terpaksa pindah. Ketika udah duduk di elf yang kedua itu si
kenek masih aja nongoll dari jendela
“jangan lupa gesek ya teh,”
Tapi akhirnya kita terbebas dari kenek
yang rese itu, namun mobilnya ini aneh kenapa muncul asap dari belakangnya,
awalnya saya pikir itu debu ternyata asap dan saya duduk dibelakang, sedikit
ngeri bagaimana kalau tiba-tiba mobilnya terbakar. Kenek dan sopir mengecek keadaan mobil yang
berasap, ternyata knalpotnya bocor, sehingga tidak memungkinkan untuk terus
melanjutkan perjalanan. Kami di evakuasi lagi ke mobil lain yang lewat, dan
alhamdulilah mobilnya lebih bagus dibandingkan yang tadi.
Jam 14.30 kita sampai di Malingping,
jadi total perjalanan yang kita tempuh sekitar 9,5 jam.
Bersambung