Selasa, 23 Juli 2013

Menulis Dari Hati

Menulis itu identitas. Kamu tidak akan bisa menulis persis si A atau si B. Jika kamu memksakan kamu akan menemukan kehambraran dalam tulisan. Tiba-tba malam ini aku ingin menulis persis si A karena aku jatuh cinta pada untaia kata yang dia tulis. Aku mencobanya. Berusaha keras untuk berpikir menciptakan untaian kata indah itu, tapi lagi-lagi gagal.

Aku tidak mau menyerah, aku kembali membaca tulisan tersebut dan berusaha keras memahami artinya kata perkata. Hasilnya? Tetap saja gagal.
Kemudian aku sadar menulis itu memang identitas. Untaian kata yang ditulis merupakan ciri khas dari penulis. Menulis memang berbeda dengan bernyanyi. Kita terkadang sudah hapal dengan suara si A atau si B walaupun kita tidak melihat si penyanyi tersebut.

Begitupun dengan menulis. Setiap penulis memiliki ciri khas tersendiri. Walaupun tidak sadar kadang kita sedikit mengikuti warna tulisannya namun tetap saja akan ada sisi yang berbeda.

Menulispun harus menjadi diri sendiri. Ketika menjadi diri sendiri saat menulis, ratusan kata itu akan mengalir dengan sendirinya, berbeda dengan kita yang mencoba menjadi orang lain, menulis seolah-olah sulit. Melihat hal tersebut menjadi diri sendiri memang menyenangkan ya. Alami, tanpa dibuat-buat. Menjalani setiap  prosesnya dengan sangat menyenangkan dan tantangan.

Banyak tulisan yang ditulis dari hati yang kemudian membumi, Gejolak pemikiran Islam Ahmad Wahib, Catatan Sang Demonstran karya Soe Hok Gie, Catatan harian Anna Frenk dan Kahlil Gibran yang selalu menuis kata-kata romanis.

Selamat menulis. Menulislah dari hati kamu sendiri. Ikuti kata hati dalam setiap rantaian kata yang akan kau ukir J

Senin, 22 Juli 2013

Petani di Negeri Subur

Sang fajar mulai menampakkan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi terlelap dalam mimpi. Tidak ada kata bangun terdahului sinar matahari, semuanya harus bergegas bangun pagi agar rezeki tidak terdahului. Coba kau tengok sejenak pak tani yang sudah bergegas dengan cangkul dipundak, siap mengolah tanah menjadi beras yang kau makan tiap hari.

Cahaya matahari menembus tetesan embun yang berkemilau. Udara yang segar, tak ada bising kendaraan, apa lagi jalanan yang semrawut. Dan anak sekolah lekas berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju taman ilmu, sambil bercanda riang. Bagi mereka sekolah adalah harapan agar menjadi orang besar nanti. Mimpi itu sederhana mereka hanya tak ingin jadi petani yang panen 3 bulan sekali. Petani yang serba pas-pasan hidup di negeri kaya ini. Walau katanya tongkat bisa jadi tanaman tapi tetap saja bagi petani tongkat itu tak jadi uang yang bermilyaran.

Petani akan mendapatkan uang jika mereka bisa panen. Namun berpanen itu butuh proses yang cukup panjang. Untuk panen jagung misalnya, mereka butuh waktu hingga 3 bulan. lalu apakah makan nunggu waktu tiga bulan? itupun akan untung jika harga jual sesuai dan bisa menutupi biaya membeli bibit, pupuk, tenaga kerja dan lain-lain. Belum lagi dijerat tengkulak, menjual hasil panen kepada tengkulak bukanlah hal yang aneh, dan itu bukan pilihan. Saat para petani tidak ada modal para tengkulak itulah yang menawarkan modal, sampai kebutuhan sehari-hari mereka penuhi. Hingga panen tiba mau tidak mau petani tersebut harus menjual hasil panennya pada tengkulak. Alhasil saat panen mereka hanya bisa menggigit jari.

Saat harga cabai mahal sampai ratusan ribu misalnya, mereka tidak bisa menikmatinya, harusnya harga cabai tinggi menguntungkan para petani. Tetap saja hidup mereka terjepit. Sekaya-kayanya menjadi petani tidak akan sekaya para pejabat. Walaupun hidup mereka mandiri karena tidak menggantungkan diri pada negara, berbeda dengan pegawai negeri yang hidupnya tergantung pada gajih negara.Lalu siapakah pembela petani? Saat harga pupuk naik misalnya, adakah mahasiswa yang dengan rela berunjuk rasa membela mereka?

Hidup menjadi petani bukan pilihan bagi sebagian orang. Saya masih ingat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar  dulu, saat bu guru menyuruh menceritakan cita-cita tidak ada teman-teman saya yang bercita-cita menjadi petani. Ada yang bilang ingin jadi guru, polisi, tentara dan saya dulu ingin jadi pilot agar bisa berkeliling dunia dengan pesawat. Namun seiring berjalannya waktu cita-cita itu hanya sebatas cerita masa sekolah, sebagian besar teman-teman saya sudah menikah dan memilih tinggal di desa, berpekerjaan yang sama dengan orang tuanya. Mereka seolah pasrah dengan istilah “Buah yang jatuh, tidak akan jauh dari pohonnya”

Lalu siapa yang akan melirik mereka? Memperjuangkan kehidupan mereka agar bisa hidup layak. Lucu bukan jika petani hidup miskin di negeri yang subur ini? Jika mereka boleh iri mungkin saja mereka juga ingin punya hari petani, kemudian mereka datang berbondong-bondong kekota menemui pemimpin mereka dan berkata :

“Bapak presiden, menteri, serta wakil kami. Lihatlah kami yang hidup serba sesak di negeri kami yang subur ini. Lihatlah kami yang harus mencangkul tiap hari tapi panen berbulan-bulan. Lihatlah kami yang tidak pernah menuntut apa-apa. Kami tidak pernah meminta harga hasil panen kami dinaikan, apa lagi minta gaji karena kami bukan pegawai. Namun betapa mulianya kami yang bisa hidup mandiri. Kami tidak pernah menuntut kesejahteraan, karena kesejahteraan bagi kami saat panen menguntungkan. Kami tidak pernah menuntut asuransi jiwa karena bagi kami asuransi adalah punya uang untuk membayar rumah Sakit dikala kami sakit. Jika kami sakit, kami tidak bisa mencangkul, kami tidak bisa menanam dan kami tidak akan punya uang”

Itulah suatu kehidupan yang nyata. Kehidupan yang harus kita rubah sebagai calon pemimpin masa depan. Jangan sampai semua orang ingin berhenti dan pensiun jadi petani karena tidak sejahtera. Dan dinegeri subur ini kita sudah tak memiliki petani lagi.

*Mentari sudah benar-benar bersinar. Semangat pagi

Pergi Bersama Pagi

Aku hanya ingin bercinta dengan pagi. Saat mentari menyusup kedalam selimu tidurku, saat itu dia mencumbuku. Mengecup manis bibirku. Memelukku dengan damai, membuatku enggan bangun. Aku tidak ingin melewatkan saat-saat ini.

Pagi adalah waktu yang aku tunggu.  Menunggu pagi sangat panjang. Aku harus melewati malam yang menyesakkan dulu, karena aku  sangat rindu pada pagi. Rindu itu semacam perasaan yang menindih paru-parumu hingga kamu merasakan sesak dan sulit untuk bernafas. Menahan rindu itu  semacam melewatkan malam tanpa tidur panjang.

Aku hanya ingin terbangun jika mentari telah memasuki jendela kamarku. Saat itu dia akan menyapaku dengan hangat dan tulus.  Mungkin mereka berkata aku gadis pemalas karena bangun terdahului mentari. Tapi tahukah kalian aku hanya menunggu pagi.

Aku jatuh cinta pada pagi. Salahkah aku jatuh cinta pada pagi? Salahkah aku menunggu pagi? Bukankah cinta itu anugerah Tuhan? Dan pagi adalah ciptaan Tuhan yang terindah.
Saat pagi tiba, aku akan bangun dengan penuh harap. Aku akan bangun dengan kembali menyusun puzle-puzle impianku. Saat pagi tiba aku akan tersenyum padanya dan berterima kasih karena dia telah mengingatkan impianku. Saat pagi tiba dia yang akan berkata “kamu tidak boleh menyerah”

Aku benar-benar mencintai pagi. Jatuh cinta yang sangat besar. Aku tak tahu sebesar apa, apakah sebesar bola? Aku rasa lebih besar dari itu. Apakah sebesar istana? Aku tak tahu karena aku rasa lebih besar dari itu. Aku juga tak tahu mengapa aku suka pagi. Padahal pagi tidak seromantis senja. Bukankah jatuh cinta karena ketidak tahuan itu lebih tulus? Lebih murni?

Hari ini hari sabtu, pagi kembali menemuiku lewat hangatnya mentari. Dia menyelinap lewat jendela kamarku kemudian menyusup kedalam selimutku. Pagi mengecup pipiku. Aku tahu pagi datang, namun aku tetap diam, biarkan dia melakukan apa yang dia suka karena dia kekasihku. Salahkah sang kekasih melakukan itu pada kekasihnya.

Hari ini pagi ingin mengajakku pergi. Dia bilang didunia ini sudah tidak aman lagi. Dia bilang akan banyak monster yang mengacaukan dunia ini hingga pagi tidak akan sehangat ini. Dia tidak ingin melihat aku menangis karena tak ada pagi yang indah lagi. Pagi yang mencintaiku dengan tulus. Aku menganggukan kepala. Biarlah pagi membawaku kemana yang dia mau toh dia kekasihku.

Aku lebih percaya pagi, dia tidak bohong, dia tulus. Pernahkah pagi enggan menyapa? Pernahkah pagi lupa datang? Pernahkah pagi telat datang?  Itu sudah cukup untuk meyakinkanku mempercayainya. Karena aku suka pagi. Biarlah pagi membawaku ketempat terindah.

Jika suatu hari pagi tidak datang katakan saja dia sedang bersama kekasihnya, jangan ganggu dia. Kalian jangan marah jika pagi tidak datang. Bukankah kalian enggan pagi datang karena kalian harus kembali bekerja, bertemu dengan bos yang galak, dosen yang kiler, macet yang panjang.

Bukankah jika pagi tidak datang kalian akan tetap berada dibalik selimut, melewati hari-hari penuh mimpi indah. Bukankah kalian kadang mengutuk pagi karena kalian masih ingin terlelap. Jadi biarlah pagi menjadi milikku, biarlah aku bercinta terus dengan pagi.  Karena aku jatuh cinta pada pagi.


Selamat tinggal bumi. Kamu jangan marah padaku karena pagi pergi bersamaku. Kamu jangan marah jika pagi tidak menyapamu lagi. Pagi hanya bosan mendengar keluhan manusia yang mengisimu. Biarlah pagi bahagia bersamaku.

Jumat, 19 Juli 2013

Karena Saya Bukan Tuhan

“Haruskah Saya membenci mereka” judul tulisan yang menceritakan LGTB (Lesbian, Gay, Transgender, Biseksual) yang diposting oleh Iman Brotoseno.

Membaca tulisan tersebut mengingatkan saya tentang dua film yang saya tonton yang berlatar belakang transgender. Dalam film tersebut diceritakan bagaimana keseharian transgender. Mereka sama seperti saya dan anda bisa merasakan cinta, mengingat dosa. 

Dari dalam lubuk hatinya mereka tidak ingin terlahir seperti itu. Jelita misalnya tokoh dalam film tersebut dia merasa berasalah kepada ayahnya, karena dia tidak bisa menjadi laki-laki normal yang diharapkan.

Namun sang ayah seperti manusia pada umumnya. Sebuah cap memalukan dan melanggar norma, transgender adalah aib. Sang ayah tidak mengakui lagi anak, dia murka hingga ketika ibunya meninggal Jelita tidak diperbolehkan menengok ibunya yang terakhir kalinya. Lebih baik membuang darah daging sendiri daripada menerima rentetan cibiran masyarakat. Norma bagaikan pecut polisi.

LGTB adalah nyata ada didepan kita. Hanya saja mungkin kita jarang meliriknya atau benar-benar tidak mau tahu. Bahkan ada yang memilih sikap memusuhinya. Bagi saya mereka manusia yang punya hak yang sama, mereka ingin diperlakukan sama seperti anda dan saya. Saya tidak ingin mencap mereka berdosa atau mahluk terkutuk, karena saya bukan Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak mengatakan dosa, salah atau benar yang saya tahu hanya baik dan tidak baik.

Jika para LGTB ini bersikap baik pada sesama, mereka peduli kemanusiaan menyantuni anak yatim, saling menolong haruskah kita memusuhi mereka dan berkata “Mereka Terkutuk”. Lalu kita bandingkan dengan kelompok yang memakai sorban, berkopiah tapi lihat perilakunya? Membunuh dengan menyebut nama tuhan? Merusak dengan mengucap Allahu Akbar?

Sekali lagi saya bukan Tuhan, saya melihat semuanya itu dengan kaca mata sebagai manusia.

Dan menurut saya mereka bukan kriminal, mereka mahluk yang sama yang diciptakan Tuhan. Masalah dosa biarlah Tuhan yang menentukan. Hanya Tuhan yang berhak menghukumnya jika itu benar-benar dikatakan salah menurutNya. Tapi apakah Tuhan akan tega? Jika ada mahluknya yang begitu baik, dia beramal baik, dia menyantuni anak yatim, menjalankan agamanya dengan begitu baik lalu memasukannya kedalam Api Neraka? Sekali lagi saya bukan Tuhan.


Calon Atlet Bulu Tangkis dari Cibingbin

Selalu ada cerita ketika kita berada didaerah orang lain.  Hampir hari terakhir Kuliah Praktek Bermasyarakat (KPB) kalau di kampus lain dikenal dengan istilah KKN. Saya kebagian kelompok di Desa Cibingbin. Setelah menyelesaikan program kerja saya beristirahat sebentar dan duduk di teras SD Cibingbin 3. Saat itulah saya bertemu dengan anak kelas 6 SD. Namanya Tiara. Saya memperhatikannya saat dia bermain bulu tangkis dengan teman saya. Awalnya biasa saja, saya memperhatikan dia layaknya anak-anak yang lainnya. Namun ketika dia duduk menghampiri saya dan memperkenalkan diri, dia anak yang menarik.

Dia bertanya apa hobbyku? Aku jawab saja banyak, aku hobbi baca buku, nonton, jalan-jalan, menulis. Dan dengan lucunya dia bilang, ”Kakak hobbi itu jangan banyak-banyak satu aja,”aku tersenyum dan balik nanya sama dia. “Lalu hobbi kamu apa?”

“Bulu Tangkis, aku ingin jadi Atlet,”

Aku tersenyum dan merasa bangga, bagiku impian anak-anak itu impian murni yang tidak dipaksakan oleh siapapun.

“Kamu ingin masuk timnas?”

“Pengen kakak, tapi aku mainnya belum jago. Aku sering kalah jika pertandingan antar kecamatan,” dia bercerita dengan semangatnya.

“Kakak Yakin kamu bisa masuk timnas jika kamu terus berlatih dan tidak menyerah, kamu anak hebat,”

“Tapi kak, disini ada yang lebih jago, dia maennya hebat banget. Anak-anak disini memang hebat main bulu tangkisnya,”dia sedikit pesimis.

Lalu aku bercerita bagaimana Thomas Alfa Edison mengalami  ribuan kegagalan percobaan hingga akhirnya dia berhasil menciptakan bola lampu. Dengan pernah gagal kita akan terus bangkit dan mengevaluasi diri apa yang kurang, apa yang harus diperbaiki sehingga tidak ada lagi kesalahan. Jika hanya dengan sekali usaha kita gagal terus menyerah kita tidak menemui keberhasilan itu.Jika sekali usaha lalu berhasil, apakah kita akan terus berhasil? Atau kita malah terlena hingga kita akhirnya mengalami kegagalan.

Tiara mendengarkan ceritaku. Dia menyimak dengan cukup baik, kemudian dia berkata”iya kak, aku janji akan terus berlatih. O ya bulan puasa nantipun aku tetap berlatih loh. Kadang capek sama lemas tapi aku ingin terus melatih kemampuanku,”

Saya pun belajar dari Tiara. Anak sekecil itupun masih semangat dan tidak peduli dengan kondisi lemas saat berpuasa. Kadang kita orang dewasa banyak alasan, banyak mengeluh ini itu jika harus menyelesaikan sesuatu. Sibuklah, capeklah padahal ada impian,impian yang menggantung dan harus dikejar tanpa lelah, tanpa menyerah pada kegagalan.

Sampai Jumpa Tiara. Seperti yang pernah saya bilang sama kamu, suatu hari nanti saya ingin melihat kamu masuk timnas dan kamu memegang medali, membanggakan republik ini.

Senin, 15 Juli 2013

Si Jago Merah Melahap di Bulan Berkah


Kepulan asap menghiasi langit malam di desa Maruyung Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. Sijago merah  melahap rumah dsaat  para penghuni rumah tengah khusu menjalankan solat tarawih.

Disalam yang ketiga, para jamaah menghambur meninggalkan mesjid saat mendengar teriakan kebakaran, semuanya kalap dan mencoba memadamkan api. Namun usaha itu sungguh sulit ditambah lagi karena kekeringan, satu jam kemudian datanglah petugas kebakaran,  dan setengah jam kemudian api berhenti melahap.

Apin, (60) masih ingat api itu menyambar rumahnya hingga ludes tak menyisakan apa-apa hanya baju yang dikenakan di badannya saja, apa lagi rumah yang ditempatinya adalah rumah semi permanen.
”Api itu langsung menyambar rumah saya, aneh tidak kepinggir tapi langsung keatas, tidak ada yang bisa diselamatkan yang tertinggal ya baju yang dibadan ini,”katanya.

Tak hanya Apin yang masih mengingat kejadian itu, Rowa (70) hingga kini masih trauma jika melihat ketempat kejadian, tak ada lagi rumah yang meneduhinya disaat terik matahari dan hujan.Nenek tua itu masih ingat pada ayam-ayamnya yang ikut terbakar,”Aduh neng ayam emak 20 semuanya terbakar pas pagi liat tinggal bangkainya saja pada item,”katanya.

Rohmah, yang kesehariannya mengurus ayam-ayamnya, kini merasa jenuh dengan aktivitas dipengungsian, yang hanya diam.
“Biasanya, pagi-pagi subuh tuh udah ke air biar ga ngantri, kan disini susah air, kekeringan terus ngurusin ayam, sekarang diem terus bosen,”katanya.

Kebakaran melanda Desa Maruyung pada tanggal 7 Agustus 2012,  22  rumah rusak berat  dan 5 rumah rusak ringan, termasuk rumah Apin dan keluarganya , satu balita mejadi korban dari kejadian tersebut.

Menurut penuturan Rahmat Hidayat ayah korban, anaknya tengah tidur dikamar dan istrinya salah mengambil, bukan anaknya yang dia gendong dan selamatkan namun bantal. kini Apin dan seluruh korban mengungsi di Sekolah dasar. Konsleting listrik  menjadi penyebab  sijago merah itu merambah.

Hari ketiga setelah kejadian saya dan enam teman dari Unit Kegiatan Mahaisiwa di Unpas menyambangi para korban di pengungsian, raut muka kesedihan masih terlihat jelas dimuka mereka, walaupun bantuan yang diterima terus berdatangan, namun beban psykologi masih mendera mereka.
“Kalau untuk makanan, gak kekurangan alhamdulilahnya banyak, pakaian juga banyak coba saja lihat, tapi kejadian itu seperti masih menghantui,”ujar Apin sambil mengelus dadanya.

Walaupun terkadang Rahmat Hidayat (50) salah seorang korban sering bercanda agar menghibur tapi ia sendiri tak bisa membohongi bahwa kejadian itu merupakan ujian yang berat dalam hidupnya.”bapak mah bercanda terus neng, agar semuanya terhibur gak terlalu keingetan,”katanya.

Diapun bercerita, rumah baru yang ditempati anaknyapun ikut ludes terbakar, apa lagi anaknya itu baru saja melahirkan,”disini tuh semuanya hampir saudara, jadi anak sayapun ikut jadi korban, padahal rumahnya baru saja dibangun dan bayinya masih merah,”katanya.
Nasib rumah Para korban tersebut masih menunggu keputusan dari pemerintah setempat apakah akan dibuat seperti semula atau setengahnya.

”Semoga aja cepet dibangunin lagi rumah, gak apa-apa jelek juga yang penting tuh punya rumah gak kayak gini luntang-lantung gak jelas,”ujar Rahmat. Satu lagi kesedihan yang melanda mereka, saat hari raya iduk fitri nati mereka harus pulang ke tempat pengungsian, bukan rumah seperti biasanya,”yah lebaran tahun ini mah pulang teh nanti kesini mungkin, kan kita sudah tak ada rumah,”tambah Rahmat.

Menurut Koordinator BPBD Hendrawan, BPBD agar berusaha cepat memperjuangkan rumah untuk para korban,”kita akan berusaha secepatnya, agar nasib mereka jelas,”katanya.
Hendrawanpun membenarkan, bahwa saat ini bantuan yang masuk memang telah banyak berdatangan,”untuk logistik sudah banyak, jadi kalau mau nyumbang coba  buat korban yang lain saja, dan yang mereka perlukan saat ini hiburan untuk mengurangi beban psykoligi,”katanya.

Tak hanya rumah, merekapun saat ini kehilangan pekerjaannya, karena sebagian besar dari mereka adalah penjual es Cendol. “Gimana bisa kerja, gerobak sama semua peralatannya terbakar abis gak bersisa,”kata Rahmat.

Malam semakin larut, dan sebagian pengungsi bersiap-siap beristirahat apa lagi mereka harus bangun untuk makan sahur, saya berpamitan untuk pulang dan kembali ke Bandung,  salaman hangat saya rasakan dari tangan para pengungsi, dan sorotan mata penuh harapan mengantarkan saya hingga diteras sekolah.

Berbagi Kisah Ramadhan

Marhaban Ya Ramadhan

Bulan penuh berkah ini selalu ditunggu oleh setiap muslim.  Para ustad sering berkisah, di bulan ini semua amalan di lipat gandakan. Tentu saja saatnya bagi umat muslim ini untuk berlomba-lomba menanam kebajikan di bulan ini.

Selain itu, bulan ini moment terbaik untuk berkumpul bersama keluarga. Bahkan dari dulu nenekku selalu mengharuskan berkumpul saat awal ramadhan yang di kenal di daerahku dengan nama munggahan.

Namun Ramadhan saat ini  berbeda dengan ramadhan sebelumnya. Ramadhan ini aku tidak bisa melewatinya bersama nenek. Beliautelah lebih dulu bertemu dengan-Nya.  Jika dulu sebelum ramadhan kami hanya menjiarahi makam kakek saja, saat ini aku harus menjiarahi makam nenek. Saya selalu ingat setiap akhir Ramadhan beliau selalu berdoa semoga tahun depan bisa bertemu dengan ramadhan lagi. Dengan polosnya saat itu aku bertanya, memamngnya kenapa?

Mungkin saja tahun depan kita sudah tak ada umur kata beliau. Saat itu aku selalu berpikir bahwa nenekku masih sehat walau saat ramadhan biasanya penyakit magnya kambuh. Seperti sebuah ungkapan bahwa masa depan adalah misteri, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Begitupun yang terjadi dalam kehidupanku. Selang beberapa bulan setelah idul fitri tahun kemarin tiba-tiba nenek divonis kanker hati. 

Dulu aku selalu berpikir kanker itu hanya akan ada di kisah sinetron. Dan nenek dipanggil sebelum ramadhan, sebelum aku di wisuda. Seandainya dia diberi dua kali ramadhan lagi. Namun lagi-lagi takdir itu tidak bisa ditawar dan dibeli.



Sudah ga berasa yah sekarang sudah bulan Desember lagi, yah sudah memasuki musim hujan, dan ornamen taun baru serta natal dimana-mana. Ah De...