Kamis, 20 Maret 2014

Jika aku menjadi Inggit Ganarsih

Aku sangat mengagumi sosok istri kedua Presiden pertama RI. Ibu negara pertama tanpa mahkota gelar yang sepantasnya disematkan padanya. Inggit adalah sosok sahabat, ibu dan kekasih bagi Sukarno.

Aku tidak habis pikir apa yang ada dibenak perempuan itu, ketika dia sudah mendengar desas-desus suaminya mendekati wanita lain dan wanita itu sempat tinggal dengan mereka. Inggit masih tetap setia menemani Sukarno setidaknya hingga Sukarno terbebas dari pembuangan.

Tapi sebagai seorang wanita, inggit telah mengambil haknya untuk mengatakan tidak pada suaminya Soekarno saat Sukarno ingin mempolygaminya.

Meski Aku mengawininya, tapi Inggitlah wanita utama, istri utama.” Banyak Sekali sanjungan yang dibuat untuk perempuan yang mau patuh dan diam pada kemauan lelaki. Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah aku tetap menjadi wanita utama atau istri utama karena aku telah mengatakan hakku atas kata “Tidak”. Kalau Kusno berani mengatakan tidak pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan tidak pada hal yang sama padanya ketika ia ingin menjadikan perempaun sebagai koloni lelaki? Seperti tanah air yang dibelanya, aku bukanlah koloni. Sebagai Istri tugasku sudah selesai. Mendampingi Kusno untuk tabah dan selalu setia berkata “tidak” pada kolonialisme. Sebagai perempuan aku sudah menunaikan kewajibanku, mengatakan “tidak” pada seorang lelaki bernama Kusno. Dan demi kata itu, baik aku memilih kembali ke Bandung. Membawa kembali peti tua ini dan semua harga diriku... Tapi satu hal yang ingin aku katakan padamu tentang Kusno, aku tetap menyayanginya....

Itulah Inggit, demi kata “tidak” dia memilih kembali ke Bandung dibandingkan tinggal di Istana. Dia memilih bergelar seorang Janda, dibandingkan Ibu negara.  Demi kata “tidak” pada keinginan lelaki, perempuan sunda ini kembali meracik dan menjaul jamu di Bandung.
Kata “tidak” begitu mahalnya memang. Mungkin dibenak sebagian orang, kenapa Inggit memilih pergi, padahal sudahlah dia tetap bersama Soekarno, menjadi Ibu negara. Tapi Inggit adalah perempuan yang mendambakan kemerdekaan, dengan kata itu dia kembali ke Bandung dengan seluruh harga diri dan marwahnya sebagai perempuan.

Setelah kejadian itu, apakah Inggit membenci Sukarno? Lelaki yang didampinginya, diperjuangkannya. Inggit rela berjalan kaki berkilo-kilometer untuk mengunjungi Sukarno saat di penjara di Sukamiskin. Inggit rela tidak makan agar bisa menyelundupkan buku untuk Sukarno, kemudian setelah semua cobaan itu terlewati Sukarno mengatakan ingin menikah lagi dengan alasan keturunan. Inggit adalah manusia sederhana yang menjunjung bahwa cinta itu memaafkan. Inggit tetap mendoakan dan menyayangi Sukarno.

Perempuan, mahluk yang sering tidak diberi kuasa pada kata “tidak”. Perempuan seolah-olah enjadi kontrol dari kaum lelaki.  Tapi demi martabatnya sebagai perempuan , inggit merebut kembali apa yang menjadi haknya ketika lelaki sudah meminta sesuatu yang tidak bisa dikompromikan.

Kita sebagai perempuan berhak mengatakan “Tidak” pada mereka yang disebut lelaki. Lelaki bukan kontrol kuasa pada bahasa.


Perempuan punya martabat  dan harga diri. Jika aku menjadi Inggit, aku akan mengatakan “Tidak”. Biarlah kembali pada kesunyian asal tidak menjadi koloni seorang lelaki.

Sudah ga berasa yah sekarang sudah bulan Desember lagi, yah sudah memasuki musim hujan, dan ornamen taun baru serta natal dimana-mana. Ah De...