Kamis, 05 Juni 2014

Kisah Embun



Ini kisahku. Kisah embun yang tidak terlalu menarik. Kau pasti mengenalku kecuali bagi mereka yang terbangun saat matahari sudah di puncak. Aku lebih dekat dengan mereka yang sering kalian sebut petani. Atau segerombolan anak-anak yang berpakaian seragam putih merah yang harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu dengan guru.
Aku hanya setetes air. Mana kau akan peduli padaku. Aku bukan lautan yang akan mendendangkan suara merdu. Aku hanya setets air yang akan menghilang saat matahari mulai datang kebumi ini.

Aku tidak terlalu tahu cerita tentang anak kota. Seperti yang sudah aku bilang, aku hanya mengenal mereka yang bangun saat matahari masih mengintip bumi dengan malu-malu. Aku tidak terlalu penting, aku tidak akan menyuburkan tanah seperti hujan yang kau bilang romantis. Aku hanya setes embun. Jika hujan saat malam datang, pasti kau berfikir aku tak ada? Padahal aku tak pernah absen setiap hari menetes diantara daun-daun dan jendela kamarmu. Entah kau senang atau tidak atau kau tidak peduli.

Aku embun. Saksi petani yang mulai berjalan di kelegapan. Kakinya terus melangkah dan dengan muka yang bersinar. Dia akan pergi meengolah tanahnya menunggunya hingga panen walaupun kadang jagungnya dimakan tikus, tapi petani itu tidak menyerah. Dia akan terus datang ke  ladang itu, mengolah tanah, memupuknya dan menunggunya hingga panen. Kau pikir panen itu memberikan kebahagian tentu saja tidak selamanya. Kadang petani itu hanya bisa menggigit jari saat harga dipasar tidak sesuai dengan modal yang dia keluarkan. Seperti yang sudah aku bilang tadi petani itu tidak menyerah dia tidak pernah pensiun menjadi petani. Hingga tubuhnya sudah bungkukk dia masih tetap datang keladang itu. 

Makanya aku heran sama mereka yang katanya berpendidikan tinggi tapi menyerah ditengah jalan saat ada masalah. Maaf ya aku so tahu padahal aku hanya setetes embun.
Apa kau pernah menyentuhku? Merasakan kehadiranku? Kata sebagian orang aku menyejukan. Atau akulah memberikanmu rasa dingin hingga kau enggan beranjak dari kasurmu? Entahlah yang pasti aku selalu melaksanakan tugasku, tugas untuk turun ke bumi ini dengan perlahan, aku tidak protes pada tuhan walau sebenarnya aku ingin menjadi laut atau hujan.

Kenapa aku tetap ingin menjadi embun? Karena aku mencintai daunku. Aku rela terbang terbawa angin berpuluh kilometer untuk bertemu daun jelita yang terus hadir didalam mimpiku.  Aku bukan perayu, aku hanya sang pencinta.
Aku harus menemukan daunku. walau aku pernah putus asa karena tersaruk-saruk desak pohon dan menyibak ranting , tapi aku belajar pada kisah petani yang tak pernah menyerah. Ah cinta selalu memberikan kekuatan.  Hingga ku temukan daun jelita itu. Aku mendekapnya disisa kekuatanku, aku tak ingin matahari segera tiba, aku ingin tetap bersama daun jelitaku.

*Selamat pagi. Ditulis karna beruntung hari ini bisa bangun pagi dan merasakan sejuknya embun. Sebenarnya tengah rindu juga merasakan embun diantara dedaunan (kangen rumah)

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...