Ini kisahku. Kisah embun yang tidak
terlalu menarik. Kau pasti mengenalku kecuali bagi mereka yang terbangun saat
matahari sudah di puncak. Aku lebih dekat dengan mereka yang sering kalian
sebut petani. Atau segerombolan anak-anak yang berpakaian seragam putih merah
yang harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu dengan guru.
Aku hanya setetes air. Mana kau akan
peduli padaku. Aku bukan lautan yang akan mendendangkan suara merdu. Aku hanya
setets air yang akan menghilang saat matahari mulai datang kebumi ini.
Aku tidak terlalu tahu cerita tentang
anak kota. Seperti yang sudah aku bilang, aku hanya mengenal mereka yang bangun
saat matahari masih mengintip bumi dengan malu-malu. Aku tidak terlalu penting,
aku tidak akan menyuburkan tanah seperti hujan yang kau bilang romantis. Aku
hanya setes embun. Jika hujan saat malam datang, pasti kau berfikir aku tak
ada? Padahal aku tak pernah absen setiap hari menetes diantara daun-daun dan
jendela kamarmu. Entah kau senang atau tidak atau kau tidak peduli.
Aku embun. Saksi petani yang mulai
berjalan di kelegapan. Kakinya terus melangkah dan dengan muka yang bersinar.
Dia akan pergi meengolah tanahnya menunggunya hingga panen walaupun kadang
jagungnya dimakan tikus, tapi petani itu tidak menyerah. Dia akan terus datang
ke ladang itu, mengolah tanah,
memupuknya dan menunggunya hingga panen. Kau pikir panen itu memberikan
kebahagian tentu saja tidak selamanya. Kadang petani itu hanya bisa menggigit
jari saat harga dipasar tidak sesuai dengan modal yang dia keluarkan. Seperti
yang sudah aku bilang tadi petani itu tidak menyerah dia tidak pernah pensiun
menjadi petani. Hingga tubuhnya sudah bungkukk dia masih tetap datang keladang
itu.
Makanya aku heran sama mereka yang katanya berpendidikan tinggi tapi
menyerah ditengah jalan saat ada masalah. Maaf ya aku so tahu padahal aku hanya
setetes embun.
Apa kau pernah menyentuhku? Merasakan
kehadiranku? Kata sebagian orang aku menyejukan. Atau akulah memberikanmu rasa
dingin hingga kau enggan beranjak dari kasurmu? Entahlah yang pasti aku selalu
melaksanakan tugasku, tugas untuk turun ke bumi ini dengan perlahan, aku tidak
protes pada tuhan walau sebenarnya aku ingin menjadi laut atau hujan.
Kenapa aku tetap ingin menjadi embun?
Karena aku mencintai daunku. Aku rela terbang terbawa angin berpuluh kilometer
untuk bertemu daun jelita yang terus hadir didalam mimpiku. Aku bukan perayu, aku hanya sang pencinta.
Aku harus menemukan daunku. walau aku
pernah putus asa karena tersaruk-saruk desak pohon dan menyibak ranting , tapi aku
belajar pada kisah petani yang tak pernah menyerah. Ah cinta selalu memberikan
kekuatan. Hingga ku temukan daun jelita
itu. Aku mendekapnya disisa kekuatanku, aku tak ingin matahari segera tiba, aku
ingin tetap bersama daun jelitaku.
*Selamat pagi. Ditulis karna beruntung
hari ini bisa bangun pagi dan merasakan sejuknya embun. Sebenarnya tengah rindu
juga merasakan embun diantara dedaunan (kangen rumah)
"mempersonifikasikan" embun..? so brilliant..!! Dia seperti diberi nyawa oleh sang penulis untuk berekspresi atau menyampaikan pesan. Dan Dia selalu membuatku rindu. Dia disini adalah "embun"
BalasHapusTerima kasih semoga suka
BalasHapus