"Bismilah, kita buka ya, semoga baik-baik saja" ucap dokter yang memeriksaku sambil membuka amplop hasil laboratorium, deg, tiba-tiba jantungku berdegup entah perasaan takut menyelimuti dadaku, aku hanya terdiam dan menatap dokter yang membaca hasil laboratorium. Hatiku tak karuan, dan sekali-kali aku menatap cucuku yang berdiri disampingku, dia begitu seksama mendengarkan dokter yang hari itu tiba-tiba bagai seorang ponggawa penjegal kepala, yang siap menjenggalku kapan saja, aku bagai teriring ketiang gantungan ketika dokter memvonisku dengan kanker payudara, apa itu aku juga tak begitu tahu, aku hanya orang bodoh yang tak sekolah, yang aku fahami adalah payudaraku harus diangkat dan disinar. aku menatap mata cucuku, matanya berkaca-kaca aku yakin dia lebih faham dengan penyakitku dibandingkan aku. Aku terdiam dan hanya kebisuan yang aku dengar disekelilingku. Dokter menyuruhku menunggu diluar sebentar, aku duduk disampingku ada beberapa pasien lain yang sama sedang menunggu, 1 detik jam bergerak aku mearas satu tahun aku bosan dan cemas belum ada kepastian, dan yang paling aku pikirkan adalah uang, ya aku yakin biaya operasi tak sedikit, darimana anakku akan mendapatkannya, semua pikiran itu terus berkecamuk didadaku.
"nyonya Rohaeni" panggil seorang perawat, aku langsung berdiri menemui perawat itu, dia menyuruhku untuk ke ruang bedah, entahlah untuk apa aku tak tahu, aku hanya menuruti apa katanya.
Langkah-demi langkah terasa begitu berarti, ruang bedah serasa menjadi pengadilan untuk hukuman mati, semua orang yang berlalu lalang seperti malaikat pencabut maut bagiku, entahlah penyakit yang baru aku kenal namanya itu seperti peluru yang siap menembus jantungku kapanpun.
setelah menunggu beberapa saat aku dipanggil keruangan yang hanya berukuran 3x4. disana telah ada 3 orang dokter yang menungguku, salah satunya masih muda, dan yang cukup berumur berbicara kepadaku dan cucuku pun ikut dipanggil. Seperti tak ada jalan lain untuk penyakit terkutuk ini selain operasi. Tuhan sedang mengujiku atau memang menghukumku, tapi pantaskah aku berkata ini hukuman tuhan? tapi dari dulu hingga saar ini aku selalu yakin tuhan sayang padaku, ya walaupun kehidupanku tak begitu enak, aku masih harus berjuang demi membantu perekonomian anakku satu-satunya. Anak semata wayangku tidak bernasib baik seperti yang diharapkan, dia harus bernasib sama denganku, hidup dengan secuil tanah. Aku tahu masih ada beban dibenak anakku, dia masih harus menanggung biaya pendidikan cucuku dan sekarang ditambah aku dengan penyakit yang tak pernah aku tahu ini.
*********
detik, demi detik bak emas bagiku, aku tak mau melewatkan semuanya dengan percuma, tetap tersenyum dan berada ditengah-tenhgah orang terkasih adalah keinginanku tiap hari.
" nek" tegur gadis kecil, yang suaranya tak asing ditelingaku, aku menolehnya dan aku melihat tatapan yang selalu aku rindukan, ya aku tak kuat jika harus berpisah lama dengannya, gadis kecil, aku selalu menganggap dia seperi itu walaupun aku tahu dia sebenarnya sudah ingin disebut dewasa.
"kenapa nak?"
tiba-tiba dia memelukku dan menangis tersedu-sedu dipangkuannku, aku memeluknya erat dan membelai rambutnya, tak ada yang dia katakan selain menangis, dan aku tak kuasa untuk menahan air mataku, butir-butir air mata terus mengaliri anak sungai dipipiku.
aku melihat anakku mondra-mandir mencari biaya operasi, dia mengetuk pintu demi pintu didesaku, aku tak tega melihatnya seperti itu, aku tahu berbagai cara akan dia tempuh untukku, dan aku tak kuasa melihat itu, pikirannku semakin tak karuan ingin rasanya aku berkata sudahlah, aku sudah tua biarlah aku tenang bersama tuhan.
"ibu, alhamdulilah kita dapat uanggnya, walaupun kita harus merelakan secuil tanah yang masih kita miliki untuk digarap orang lain" katanya suatu hari dengan muka berbinar
"tapi apakah ibu harus dioperasi, biarlah ibu dengan penyakit ini, ibu sudah tua"
"ibu berkata apa? aku akn berusaha sekuat tenagaku untuk ibu, aku tak sanggup jika ibu pergi, bu anak-anakku masih kecil, dan aku hanya sendiri, tanpa ibu aku tak kuasa" tatapan matanya yang aku lihat sedang menahan tangis tak kuas aku meliahatnya, aku hanya membisu tak satu katapun keluar dari mulutku.
" nek, benar kata mama" suara cucuku menambah harunya sore itu, semua membisu dan sibuk dengan pikiran masing-masing, namun aku tahu semuanya pasti sedang memikirkan penyakitku ini. Dan aku yang ada dipikiranku hanya ingin waktu, tak harus lama aku anya ingin melihat cucuku sukses, aku hanya ingin melihat gadis kecilku menimang anak hanya itu, jika tuhan mendengar beri aku waktu, ya walauoun aku tahu umur sudah diatur, namun tak adakah rasa kasih untukku?
Hari untuk dioperasi telah ditetapkan, hari itu bagai mimpi buruk bagiku, mimpi buruk yang tak ingin aku alami, tapi ini adalah takdir tuhan, dibalik semua ini tuhan sedang merencanalkan sesuatu, entahlah itu hanya harapanku.
aku mellihat orang-orang yang aku cintai mengantarkanku keruangan operasi sempat kulihat senyuman dan air mata dari gadis kecilku, dan sebuah air mata yang menganak sungai dari anak semata wayangku.
Hidupku sekarang diujung pisau-pisau yang akan memotong sebagian yang berharga dalam tubuhku. hanya satu harapku, biarlah semua bagian tubuhku hilang, tapi tuhan beri aku kesempatan untuk melihat gadis kecilku bahagia.
"nyonya Rohaeni" panggil seorang perawat, aku langsung berdiri menemui perawat itu, dia menyuruhku untuk ke ruang bedah, entahlah untuk apa aku tak tahu, aku hanya menuruti apa katanya.
Langkah-demi langkah terasa begitu berarti, ruang bedah serasa menjadi pengadilan untuk hukuman mati, semua orang yang berlalu lalang seperti malaikat pencabut maut bagiku, entahlah penyakit yang baru aku kenal namanya itu seperti peluru yang siap menembus jantungku kapanpun.
setelah menunggu beberapa saat aku dipanggil keruangan yang hanya berukuran 3x4. disana telah ada 3 orang dokter yang menungguku, salah satunya masih muda, dan yang cukup berumur berbicara kepadaku dan cucuku pun ikut dipanggil. Seperti tak ada jalan lain untuk penyakit terkutuk ini selain operasi. Tuhan sedang mengujiku atau memang menghukumku, tapi pantaskah aku berkata ini hukuman tuhan? tapi dari dulu hingga saar ini aku selalu yakin tuhan sayang padaku, ya walaupun kehidupanku tak begitu enak, aku masih harus berjuang demi membantu perekonomian anakku satu-satunya. Anak semata wayangku tidak bernasib baik seperti yang diharapkan, dia harus bernasib sama denganku, hidup dengan secuil tanah. Aku tahu masih ada beban dibenak anakku, dia masih harus menanggung biaya pendidikan cucuku dan sekarang ditambah aku dengan penyakit yang tak pernah aku tahu ini.
*********
detik, demi detik bak emas bagiku, aku tak mau melewatkan semuanya dengan percuma, tetap tersenyum dan berada ditengah-tenhgah orang terkasih adalah keinginanku tiap hari.
" nek" tegur gadis kecil, yang suaranya tak asing ditelingaku, aku menolehnya dan aku melihat tatapan yang selalu aku rindukan, ya aku tak kuat jika harus berpisah lama dengannya, gadis kecil, aku selalu menganggap dia seperi itu walaupun aku tahu dia sebenarnya sudah ingin disebut dewasa.
"kenapa nak?"
tiba-tiba dia memelukku dan menangis tersedu-sedu dipangkuannku, aku memeluknya erat dan membelai rambutnya, tak ada yang dia katakan selain menangis, dan aku tak kuasa untuk menahan air mataku, butir-butir air mata terus mengaliri anak sungai dipipiku.
aku melihat anakku mondra-mandir mencari biaya operasi, dia mengetuk pintu demi pintu didesaku, aku tak tega melihatnya seperti itu, aku tahu berbagai cara akan dia tempuh untukku, dan aku tak kuasa melihat itu, pikirannku semakin tak karuan ingin rasanya aku berkata sudahlah, aku sudah tua biarlah aku tenang bersama tuhan.
"ibu, alhamdulilah kita dapat uanggnya, walaupun kita harus merelakan secuil tanah yang masih kita miliki untuk digarap orang lain" katanya suatu hari dengan muka berbinar
"tapi apakah ibu harus dioperasi, biarlah ibu dengan penyakit ini, ibu sudah tua"
"ibu berkata apa? aku akn berusaha sekuat tenagaku untuk ibu, aku tak sanggup jika ibu pergi, bu anak-anakku masih kecil, dan aku hanya sendiri, tanpa ibu aku tak kuasa" tatapan matanya yang aku lihat sedang menahan tangis tak kuas aku meliahatnya, aku hanya membisu tak satu katapun keluar dari mulutku.
" nek, benar kata mama" suara cucuku menambah harunya sore itu, semua membisu dan sibuk dengan pikiran masing-masing, namun aku tahu semuanya pasti sedang memikirkan penyakitku ini. Dan aku yang ada dipikiranku hanya ingin waktu, tak harus lama aku anya ingin melihat cucuku sukses, aku hanya ingin melihat gadis kecilku menimang anak hanya itu, jika tuhan mendengar beri aku waktu, ya walauoun aku tahu umur sudah diatur, namun tak adakah rasa kasih untukku?
Hari untuk dioperasi telah ditetapkan, hari itu bagai mimpi buruk bagiku, mimpi buruk yang tak ingin aku alami, tapi ini adalah takdir tuhan, dibalik semua ini tuhan sedang merencanalkan sesuatu, entahlah itu hanya harapanku.
aku mellihat orang-orang yang aku cintai mengantarkanku keruangan operasi sempat kulihat senyuman dan air mata dari gadis kecilku, dan sebuah air mata yang menganak sungai dari anak semata wayangku.
Hidupku sekarang diujung pisau-pisau yang akan memotong sebagian yang berharga dalam tubuhku. hanya satu harapku, biarlah semua bagian tubuhku hilang, tapi tuhan beri aku kesempatan untuk melihat gadis kecilku bahagia.