Aku
terpaku duduk diam di stasiun. Air mataku tiba-tiba meleleh. aku tak ingin
menangis tapi hatiku sudah tidak kuat lagi.
“Sekarang
sudah tidak ada comuterline yang ke Gambir mba, disini tujuan jauh semua,”ujar
petugas. Sontak saja aku kaget dan kehilangan ide.
“Kalo
ke kota ada? “
“Tidak
ada, apa lagi setelah banjir, semua
kereta dialihkan ke Manggarai,”
“Jadi
saya harus ke Manggarai? Dari sini naik apa?”
“Kopaja
aja tapi harus dua kali naik,”
“ok
terima kasih,”
Hari
itu perasaanku berkecamuk. Apa lagi setelah mendapat sms dari adeknya bapak
bahwa nenek telah meninggal. Durhaka sekali aku tidak ada disamping nenek. Aku
tak bisa melukiskan perasaanku. Dari sejak meninggalkan the Building Energi,
hatiku kacau, bagaimana caranya aku bisa dengan cepat sampai kerumah. Melihat
nenekku unuk yang terakhir kalinya.
Aku
kehilangan ide, dan entah harus meminta tolong pada siapa. Aku sendiri disini,
rencana awal untuk langsung naik busway menuju Lebak bulus tidak jadi karna
saat itu banjir sehingga busway berhenti beroperasi.
Ada
satu harapan saat itu meminta tolong seorang teman untuk menjemput. Ok saat itu
saya sangat berharap ada BBM dia yang berkata “Kamu tunggu disana ya, sebentar
lagi aku jemput kamu,” hanya harapan yang tak terjadi.
Karena
BBM sesunguhnya adalah,”Maaf aku ga bisa nolong kamu aku sedang mengerjakan
tugas kelompok.”
Saat
itu saya sadar, hanya saya yang bisa menyelesaikan masalah. Saya yang bisa
menguatkan diri sendiri. Menggantungkan harapan lebih kepada orang lain hanya
akan menambah rasa sakit. Hari itu saya menguatkan diri sendiri berkata kepada
hati saya sendiri saya bisa, saya kuat. Ini jalan yang harus saya lalui. Tuhan
punya rencana.
Namun
tuhan selalu baik, disaat aku terdiam aku memutuskan untuk keluar stasiun dan
mencari jalan lain. Aku naik ojek untuk sampai di Manggarai, memesan tiket dengan
perasaan yang tak jelas.
Perasaanku
masih berkecamuk, bayangan nenek yang terus membayangi. Mama yang menangis, aku
yang tidak bisa ada disamping mama. Jika aku punya sayap ingin sekali terbang
dan sampai dirumah dengan segera, oh tuhan tapi lagi-lagi aku hanya manusia
biasa.
Seorang
teman menjemput saya dan mengantarkan sampai Pasar Rebo. Lagi-lagi semua
seperti tidak berpihak padaku. Mobil menuju Bandung penuh, hampir 1 jam lebih
aku menunggu. Dipinggir jalan temanku bertanya melihat air mukaku yang berubah
dari biasanya.
Aku
bercerita sambil menangis, sepertinya air mataku sudah tak tertahan lagi, aku
tak peduli lagi itu dipinggir jalan dan mungkin orang-orang melihatku. Tapi setidaknya hatiku lega.
Disitu aku sadar ternyata kitapun perlu menangis dan hanya menangis tanpa
komentar atau apapun.
Akhirnya
ada mobil kosong menuju Bandung. Saya lelah, dan tertidur. Akhirnya jam 2 malam
sampai di rumah. Rumah ramai, banyak yang menginap. Saya diam< tak berbicara
apapun tak juga menangis. Tak ada nenek bahkan jasadnyapun sudah tak ada.
Sodara saya menepuk pundak dan berkata ‘Emi tidak ada” saya tetap diam,
kemudian duduk. Ayah menyuruh tidur, saat itu saya menurut tanpa berkata. Saya
hanya diam, tak menangis tak bertanya hanya menjawab apa yang ditanyakan.
Kemudian saya tertidur dan esok paginya saat bangun saya sadar orang yang berarti dalam hidup saya sudah tidak ada.
Saya
ke makam dan akhirnya tangis saya tumpah disana. Saya hanya bisa menihat tumpukan
tanah yang ditaburi bunga. Tak ada lagi belaian lembut. Suara yang selalu
mencemaskan. Tapi disana aku belajar ikhlas, menerima kehilangan. Dan membenarkan
bahwa sejatinya manusia hanya akan kembali kepada pemliknya.