Rabu, 27 Januari 2016

And The Mountain Echoed, Sebuah Kejutan Yang diberikan Khaled Hosseini

http://www.tokobukumurahonline.com/

Ini baru pertama kali saya mereview sebuah buku, mungkin karena telah berjanji pada sahabatku Dewi yang sekarang sedang menjalankan misinya di Pulau Natuna. Entahlah aku hanya ingin menyebutnya itu adalah misi kebaikan. Buku ini sengaja ditinggal Dewi dikamarku, katanya biar ada alasan kita untuk bertemu lagi. Aku sungguh terkejut, bukankah kita bisa bertemu kapanpun nanti, dan haruskah pertemuan itu dengan alasan. Tapi aku senang, setidaknya akan ada buku baru yang aku baca.

And The Mountain Ecohed adalah buku ketiga dari Khlaed Khosaini, penulis yang  lahir di Kabul Afganistan.Tapi ini baru pertama kalinya saya membaca karyanya, dan menyesal kenapa tidak mengenalnya terlebih dahulu dan membaca karya-karyanya yang lain.

Buku ini bercerita mengenai kedekatan dua orang saudara yaitu Abdullah dan Pari. Mereka berdua terlahir dari keluarga miskin di kampung Sadbagh, yang jika musim dingin tiba maka akan banyak bayi-bayi yang meninggal kedinginan. Sebelumnya adik tiri mereka omar juga meninggal karena kedinginan. Ketika Parwana, ibu tiri  mereka mengandung kembali,
Saboor ayah Abdullah menjual Pari kepada pasangan suami istri kaya, majikan paman tirinya yaitu Nabi di Kabul, untuk membeli selimut agar bayinya terselamatkan. Di bagian inilah kekuatan Khaled menjalin cerita. Khaled menggambarkan kedekatan Pari dan Abdullah namun kedekatan itu harus dipisahkan karena kemiskinan. Setiap kata-kata yang dirajut sangat kuat dan menusuk seperti jarum, begitu tajam, menyakitkan dan begitu mengejutkan.

Selain itu, Khaled juga mengisahkan si kembar Masoma dan Parwana begitu dalam. Meskipun terlahir kembar, namun Masoma dan Parwana seperti bumi dan langit. Masoma terlahir cantik jelita, sedangkan Parwana terlahir menjadi gadis jelek dan akhirnya tersingkirkan. Yang lebih menyakitkan lagi ketika Masoma dan Parwana mencintai laki-laki yang sama yaitu Saboor. Tentu saja laki-laki yang mereka cintai itu akan memilih Masoma. Tapi lagi-lagi Khaled menunjukan kejutannya disini, Masoma mengalami kecelakaan yang menyebabkannya lumpuh. Akibat kelumpuhannya ini, Masoma menjadi benalu bagi Parwana. Dan lagi, parwana tidak bisa mengelakkannya dari takdir, bahwa hidupnya ditakdirkan untuk mengurus Masoma dia harus mengorbankan kehidupannya, yang bahkan kakak merekapun Nabi, meninggalkan mereka berdua karena merasa tidak sanggup menanggung beban  yang diberikan Masoma. Dan demi kebahgiaan sang adik, masoma meminta Parwana untuk meninggalkannya di gurun pasir dimalam hari, dikesunyian gurun pasir yang garang dan sambil menangis Parwana meninggalkan saudara kembarnya. Begitu pedih.

Kisah Nabi dan Sulaeman Wahdati juga tidak kalah menariknya, Khaled sungguh memberikan kejutan yang luar biasa dengan hubungan mereka. Kisah percintaan dua laki-laki yang tidak didasari oleh nafsu seks. Nabi begitu setia, menemani Wahdati hingga akhir hayatnya, karena tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama pada adiknya. Akhirnya Wahdati mewariskan rumah yang ditempatinya kepada Nabi. 
Meskipun begitu, rasa bersalah Nabi yang telah memiasahkan dua hubungan yang begitu dekat antara Pari dan Abdullah membuatnya meninggalkan sebuah surat wasiat kepada Markos Varvaris salah seorang dokter bedah plastik yang menyewa rumah peninggalan Sulaeman.  Dari surat yang ditinggalkan Nabilah akhirnya Pari kembali bertemu dengan Abdullah. Tapi sangat disayangkan dari pertemuan yang harusnya jadi klimaks ini. Karena banyaknya tokoh yang dijejelkan oleh Khaled, pertemuan ini menjadi kurang gregret dan kita harus meraba-raba hubungan para tokoh yang dimunculkan dengan kisah antara Pari dan Abdullah ini. Tapi secara keseluruhan novel ini sangat bagus. Khaled menggambarkan Kabul begitu detail. Kabul seperti daerah Afgan lainnya yang tidak luput dari perang, rumah-rumah porak poranda, begitu juga dengan rumah Sulaiman Wahdati.

Kisah Nila Wahdati, perempuan yang mengadopsi Pari juga tidak kalah menariknya. Nila berbeda dengan perempuan Afganistan lainnya. Nila menyukai puisi, seni dan seorang yang membangkang. Setelah meninggalkan Kabul Nila menjadi seorang penyair terkemuka di Paris, namun Nila mengalami kisah tragis, Nila dikabarkan meninggal karena bunuh diri.

Itu sekilas review buku And The Muntains Ecohoed versi saya, yang membuat saya penasaran dengan Afgan dan semoga suatu hari bisa menginjakan kaki di Kabul. 

Selasa, 19 Januari 2016

Ingatanku Tentang Impian


Impian yang ketika kecil selalu saya tulis diatas kertas dibelakang buku pelajaran saya. Saat itu saya belum mempunyai blog, apa lagi sosmed. Saya menulisnya dibelakang buku  pelajaran ketika guru sedang tidak masuk atau ketika belajar itu membosankan. Saya dulu belum mengenal kata impian, tapi cita-cita. Ketika kelas dua Sekolah dasar, guru saya memberi tugas untuk menuliskan cita-cita dan alasannya. Saya masih ingat aktu itu berdiiri didepan kelas dan membacakan cita-cita saya. Ingin menjadi pilot agar saya bisa berkeliling dunia dengan pesawat. Kemudian cita-cita itu terus terbenam didalam diri saya hingga kelas enam sekolah dasar. Saya memikirkannya, apa benar saya akan menjadi pilot, sepertinya cita-cita itu harus saya revisi saya tidak yakin sepertinya.

Tapi saya tidak mau jika kehilangan cita-cita. Saya harus hidup dengan cita-cita. Kembali lagi saya menulis cita-cita, saya juga masih ingat waktu itu saya ingin menjadi dokter, alsannya pun saya tulis dengan detail, mulai dari menolong orang dan terutama menolong keluarga saya. Waktu itu nenek saya sering sakit, karena menderita ashma, jika saya jadi dokter saya mungkin bisa mnegobatinya. Buku yang ada tulisan cita-citanya itu tetap saya simpan hingga saya masuk sekolah menengah.

Seiring berjalan waktu, saya merasa tidak memungkinkan dengan cita-cita saya untuk menjadi dokter, karena biaya kulaih di kedokteran tidk murah, saya juga bukan berasal dari keluarga yang kayak. Tapi saya ingin menyembuhkan nenek saya. Saya ingin mengobatinya, kemudian saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di keperawatan. Dan secara tidak sengaja saya membaca brosur sebuah sekolah menengah jurusan keperawatan.

Tapi siapa kira, lagi saya tidak melanjutkan kuliah di keperawatan, saya memilih melanjutkan kuliah di pendidikan. Mungkin sayaa akan jadi guru, mulia sekali. Dan tentang impian jadi dokter itu hilang seketika, saya melupakan impian itu. Saya tidak memperjuangkannya. Mungkin benar tentang pepatah menjadi dewasa itu melupakan impian, makanya menjadi dewasa itu menakutkan.

Tidak semua orang dewasa berani bermimpi. Dan ngomong-ngomong soal mimpi itu, aku masih punya impian besar yang masih aku tulis di dinding dekat cermin ketika aku kuliah duluu sekali. Disana aku menulis s2 di Luar negeri. Dan sekarang aku sangat percaya, impian itu tidak cukup hanya kamu yakini tapi perlu kamu perjuangkan. Ternyata tak sesederhana itu untuk memperjuangkannya, kamu perlu kekonsistenan, dan ini rasanya berat. Seperti sebuah istilah, mempertahankan lebih tak mudah dibandingkan dengan memulai, dan mengakhiri. Tapi sekarang aku sedang belajar konsisten contoh sederhanaya aku mulai yoga kembali dan mencoba apakah selama 3 bulan aku bisa terus yoga walau kadang malas. Lalu aku belajar bahasa inggris secara otodidak, karena taun ini aku harus bisa mempersiapkan untuk beasiswaku, dan yah aku mencoba mencatat semua yang bisa mengasah kekonsistenan, mungkin ngeblog ini akan aku konsistenkan kembali haha semoga ya.
 
 
*Jakarta menjelang pulang

Sudah ga berasa yah sekarang sudah bulan Desember lagi, yah sudah memasuki musim hujan, dan ornamen taun baru serta natal dimana-mana. Ah De...