Aku
sangat mengagumi sosok istri kedua Presiden pertama RI. Ibu negara pertama
tanpa mahkota gelar yang sepantasnya disematkan padanya. Inggit adalah sosok
sahabat, ibu dan kekasih bagi Sukarno.
Aku
tidak habis pikir apa yang ada dibenak perempuan itu, ketika dia sudah
mendengar desas-desus suaminya mendekati wanita lain dan wanita itu sempat
tinggal dengan mereka. Inggit masih tetap setia menemani Sukarno setidaknya
hingga Sukarno terbebas dari pembuangan.
Tapi
sebagai seorang wanita, inggit telah mengambil haknya untuk mengatakan tidak
pada suaminya Soekarno saat Sukarno ingin mempolygaminya.
“Meski Aku mengawininya, tapi Inggitlah
wanita utama, istri utama.” Banyak Sekali sanjungan yang dibuat untuk perempuan
yang mau patuh dan diam pada kemauan lelaki. Buatku sanjungan itu adalah
muslihat. Biarlah aku tetap menjadi wanita utama atau istri utama karena aku
telah mengatakan hakku atas kata “Tidak”. Kalau Kusno berani mengatakan tidak
pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan tidak pada hal
yang sama padanya ketika ia ingin menjadikan perempaun sebagai koloni lelaki?
Seperti tanah air yang dibelanya, aku bukanlah koloni. Sebagai Istri tugasku
sudah selesai. Mendampingi Kusno untuk tabah dan selalu setia berkata “tidak”
pada kolonialisme. Sebagai perempuan aku sudah menunaikan kewajibanku,
mengatakan “tidak” pada seorang lelaki bernama Kusno. Dan demi kata itu, baik
aku memilih kembali ke Bandung. Membawa kembali peti tua ini dan semua harga
diriku... Tapi satu hal yang ingin aku katakan padamu tentang Kusno, aku tetap
menyayanginya....
Itulah
Inggit, demi kata “tidak” dia memilih kembali ke Bandung dibandingkan tinggal
di Istana. Dia memilih bergelar seorang Janda, dibandingkan Ibu negara. Demi kata “tidak” pada keinginan lelaki,
perempuan sunda ini kembali meracik dan menjaul jamu di Bandung.
Kata
“tidak” begitu mahalnya memang. Mungkin dibenak sebagian orang, kenapa Inggit
memilih pergi, padahal sudahlah dia tetap bersama Soekarno, menjadi Ibu negara.
Tapi Inggit adalah perempuan yang mendambakan kemerdekaan, dengan kata itu dia
kembali ke Bandung dengan seluruh harga diri dan marwahnya sebagai perempuan.
Setelah
kejadian itu, apakah Inggit membenci Sukarno? Lelaki yang didampinginya,
diperjuangkannya. Inggit rela berjalan kaki berkilo-kilometer untuk mengunjungi
Sukarno saat di penjara di Sukamiskin. Inggit rela tidak makan agar bisa
menyelundupkan buku untuk Sukarno, kemudian setelah semua cobaan itu terlewati
Sukarno mengatakan ingin menikah lagi dengan alasan keturunan. Inggit adalah
manusia sederhana yang menjunjung bahwa cinta itu memaafkan. Inggit tetap
mendoakan dan menyayangi Sukarno.
Perempuan,
mahluk yang sering tidak diberi kuasa pada kata “tidak”. Perempuan seolah-olah
enjadi kontrol dari kaum lelaki. Tapi
demi martabatnya sebagai perempuan , inggit merebut kembali apa yang menjadi
haknya ketika lelaki sudah meminta sesuatu yang tidak bisa dikompromikan.
Kita
sebagai perempuan berhak mengatakan “Tidak” pada mereka yang disebut lelaki.
Lelaki bukan kontrol kuasa pada bahasa.
Perempuan
punya martabat dan harga diri. Jika aku
menjadi Inggit, aku akan mengatakan “Tidak”. Biarlah kembali pada kesunyian
asal tidak menjadi koloni seorang lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dengan mengirim komentar kita telah berbagi