Jumat, 21 September 2012

Menghitung Hujan









Aku menatap hujan dijendela kamar. Aku mengitungnya tetes demi tetes. 1000 tetes ternyata, tiba-tiba Mirza hadir dibelakangku, pakaiannya basah kemudian dia tersenyum padaku dan berkata “2000 butir, kamu salah menghitung”. Aku tak peduli dengan kata-katanya, aku segera meraih handuk dan menyurunya untuk mengeringkan badan.
“Kebiasaan, main ujan-ujanan nanti sakit gimana, terus kalau ibu tahu pasti dimarahin,” aku memasang muka jutek, dia malah tersenyum sebari tangannya menggosok-gosokan handuk dikepalanya.
“Kalau aku sakit  ya enak biar dirawat sama kamu,”
“Aku mana sempet merawatmu, lagian mana aku mau,”aku masih memasang muka yang asam.
“Ekh, kamu selalu salah menghitung hujan, kamu tidak pandai untuk urusan yang satu ini,”
Kamu yang salah, tadi itu ada 1000, kamu kan gak ngitung mana kamu tahu,” kataku sambil menyodorkan teh hangat.
“Aku kan ujan-ujanan jadi aku tahu ada berapa tetes hujannya, dataku lebih akuratkan? Dari pada data yang kamu dapat hanya dibalik jendela,” Mirza masih keukeuh dengan argumennya.
“Kamu tidak mau ngalah, ya terserah kamu saja,”
Eits, hujan itu hidupku, mana mau aku menyerah padamu untuk mempertahankan hujan,”
“iyah, aku tahu,” Aku pergi meninggalkannya yang masih sibuk dengan teh manis hangat.
Hujan terus mengguyur kota Kembang ini, hujan yang dirindukan oleh semuanya. Hujan yang dinanti selama satu tahun.
Bahkan ada sebagian masyrakat solat istisqa untuk meminta hujan pada yang kuasa. Namun semua akan tiba pada waktunya, hujan akhirnya turun.
Tanpa hujan, sumur kekeringan, air satu gelas saja begitu berarti. Air ibarat emas yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang kaya. Mereka yang berpenghasilan pas-pasan tidak bisa memebelinya. Hujan seperti berkah pada hari ini, semua bersujud atas turunnya hujan.
Dan akupun begitu merindukan menghitung hujan. Bulir-bulir air itu laksana permata yang akan aku hitung.
Aku tak bosan menghitung hujan, ini hobyku sama seperti Mirza, tapi Mirza akan selalu bilang aku selalu salah jika menghitung hujan, dia yang merasa paling benar jika menghitung hujan. Aku tak peduli bagiku yang penting adalah menghitung hujan.
Aku tak mau diganggu jika sedang menghitung hujan, ini momen yang indah bagiku. Jangan tanyakan bagaimana  caranya menghitung hujan, hanya aku dan Mirza yang tahu, dan yang pasti ini rahasia kami berdua. Kami tak mau membocorkannya pada siapapun, kami takut kalian akan punya hobby yang sama dengan kami menghitung hujan.
Hujan pertama ini berkah, keesokan paginya aku meendapat telpon dari bule, ibunya Mirza di kampung. Bule bilang ada pesta merayakan hujan dikampung, semuanya membuat tumpeng dan akan berdoa ditengah lapang. Ini pertanda baik, semua penduduk kampung sudah bisa bercocok tanam lagi.
dan kekeringan akan berakhir. Aku senang mendengarnya dan penasaran dengan upacara hujan ini, seperti apa? Apakah akan lebih indah daripada menghitung hujan? Mirza tak pernah cerita ada pesta hujan, aku berniat ingin pergi kekampung Mirza melihat pesta hujan.
“Bu, aku ingin pergi kerumah bule, aku mau melihat pesta hujan”aku mengutarakan keinginanku dan berharap ibu mengijinkanku.
“Pergi sama siapa, Mirza ikut?”
“Gak tahu, aku belum nanyain sama Mirza,”
“Kamu masih saja penasaran dengan hujan, sudahlah berhenti mengagumi hujan,”
Hujan itu rahmat dari Allah bu, gimana aku gak kagum sama hujan, ibu bisa rasakan sendiri setahun kemarin tanpa hujan, gimana rasanya? Kering, mau mandi susah. Untung bu kita punya uang jadi bisa beli air. liat petani-petani di desa sana gagal panen karena gak ada hujan,”
‘Iya, ibu juga tahu. Tapi hujan juga akan jadi musibah,”
Lah, itu ya tergantung sama manusianya bu. Semua yang dari Allah itu rahmat, hanya saja akan jadi malapetaka ketika sudah nyampe ketangan manusia tang salah,”
“iya, wah kamu makin ngerti masalah yang seperti itu,”
Aku kan sekolah bu. Aku juga diajarin sama ibu untuk peka terhadap lingkungan, dan bersyukur sama rahmat tuhan,”
“ya nduk,”
Jadi gimana boleh gak aku melihat pesta hujan,”
“Ya terserah kamu, udah gede udah bisa jaga diri, sing penting kamu hati-hati salamin sama bulemu, ibu udah kangen sebenanya sama bule, tapi kerjaan ibu disini banyak to,”
Iyo ibu, ah ibu ya kalo yang dipikirin kerjaan ya gak akan selesai sampai kapanpun juga. Aku yakin bule pengen ketemu ibu  si mbah juga, udah lama ibu gak nengok si mbah,”
Nanti ibu pasti akan luangin waktu. Dengan kamu kesana juga kan sama dengan pengganti ibu,”
“Yo beda bu, anaknya si mbahkan ibu bukan aku. Mana bisa sama,”
Nduk, udah makin pinter aja kamu. Yowis ibu lagi males berdebat, kapan kamu mau berangkat ke Wonogiri?”
Lusa bu. Besok aku mau pesen tiket keretanya dulu,”
***
Muka berseri terpancar dari semua warga yang hendak merayakan hujan. Kemarin saat aku berjalan melewati kampung, sawah-sawah yang  mengering mulai digarap lagi. Tenaga para petani  itu akan mengubah butiran-butiran tanah menjadi padi-padian yang kemudian akan terhidang dimeja.
Terkadang aku berpikir perjalanan nasi menuju meja makan ternyata sangat panjang. Pertama dia hanya sebutir padi yang kemudian disemai oleh pak tani, setelah disemai padi itu tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam disawah yang subur, dan sebelumnya telah melewati proses pembajakan.
Setelah ditanam padi tersebut harus dirawat dengan baik, diberi pupuk supaya subur dan melimpah, jika hasilnya melimpah kita semua tidak akan kelaparan. Setelah ditunggu berbulan-bulan padi itu matang dan siap dipanen, para petani semangat melihat tanamannya dipanen. Setelah dipanen tentu tak akan langsung jadi nasi yang siap disantap diatas meja.
Padi itu masih harus melewati proses pengeringan dan masuk mesin  penggilingan agar menjadi beras, selesai jadi beras baru bisa dinanak menjadi nasi yang tersaji diatas meja.
Hari ini aku menemani bule kepasar  untuk berbelanja keperluan nanti malam.
Bule membeli bermacam-macam keperluan seperti ayam kampung, dan beberapa makanan ringan.
“Untuk pesta hujan harus nyiapin serepot ini ya bule?”
“Iya, ini rasa syukur kita sama gusti allah  hujan udah turun. Segini ga seberapa nduk, dibandingkan dengan rahmatnya,”
Bukannya musyrik ya bule kalo kita kayak beginian,”
Lah, musyrik gimana?”
“Iyah nantinya inikan dijadiin sesajen kan bule?’
Yo ndak toh nduk, bule beli ini bukan untuk sesajen, tapi untuk dibagikan pada tetangga dan yang datang dipesta hujan nanti,”
“Oh, aku kira ini untuk sesajen yang akan dikasih ke mbah apa gitu,”
“Walah ndok, jaman sekarang teknologi udah maju, walaupun bule tinggal dikampung tapi kan bule juga ngikutin perkembangan jaman,”
“iya bule, emang gaul”
Bule Darmi hanya tersenyum.
“Kita beli apa algi bule?”
Beli sirih buat si mbahmu,”
Aku tak sabar ingin menyaksikan pesta hujan ini, rasanya jika bisa aku ingin cepat memutarkan waktu. Ketika sedang membantu bule menyiapkan makanan untuk pesta hujan, tak lama  hujan turun aku segera ke jendela dan duduk melakukan ritualku menghitung hujan.
Nduk, lagi opo toh?”
Menghitung hujan bule,”
Kamu ini sama kayak Mirza, punya hobby kok menghitung hujan?”
“Seru bule.kalo bule udah nyoba pasti ketagihan,?
“Walah, nduk kayak bule gak punya pekerjaan lain aja harus menghitung hujan. Kalo ngitung duit bule mau,”
“Akh bule. Duit aja,”
Lah iya toh ndok, namanya orang hidup perlu duit. Orang-orang berlomba-lomba pengen duduk dikursi dewan, yang dicari apa? Yo duit toh?
Bule ngerti politik, aku sih ngertinya hujan aja,”
Yo uwis bule nyiapin dulu buat pesta hujan, kamu siap-siap gih,”
Nanti bule setelah menghitung hujan,”
Aku melihat bule berlalu kedapur, tuhan sepertinya tahu jika malam ini akan digelar pesta hujan. Hujan yang tadi begitu deras kini seolah-olah dihentikan. Aku membantu bule membawa makanan ke aula desa. Disana telah banyak sesepuh yang siap berdoa bersyukur kepada tuhan yang maha esa.
Setelah selesai solat isya doa tersebut digelar, semuanya terasa khidmat menunduk dan sebagian mengucapkan amien.
Setelah doa selesai, semua boleh memakan makanan yang disajikan. Banyak yang berebut dan terlihat lucu. Namun ternyata pesta hujan tak cukup sampai disitu. Para pemuda dan pemudi desa menanpilkan tarian Bedaya Tumuruning Wahyu Katresnan. Tarian ini dibawakan oleh 12 penari, dimaan Sembilan penari merupakan penari inti, dua penari membawa dupa dan seorang menjadi penembang.
 Sedangkan untuk  anak-anak kecil  bersolawat seperti sebuah khasidahan mengucapkan salam kepada nabi Muhammad. Dan kembang api bersinar diudara. Suara petasan menambah semarak pesta hujan. 
Tak hanya itu, sebuah pementasan drama dibawakan juga oleh sekelompok remaja yang tengah menginjak masa pubertas. Sebuah drama tentang hujan.
Ada seorang yang menjadi raja hujan dan awan. Raja hujan yang amat baik dan awan yang dendam. Terrnyata awan dendam pada manusia yang selalu mengotorinya, namun raja hujan teramat baik sehingga dia tidak mau mengabulkan permintaan awan untuk membalas dendam pada manusia. Drama itu sangat keren, entah siapa yang mengonsep drama itu, ternyata didesa kecil ini lebih peduli terhadap lingkungan. Pesta hujan selesai jam 12 malam.
Aku puas dan tidak sia-sia melihat pesta hujan ini. Malam ini akupun tidur diiringi dengan nada rintikan hujan, tapi karena ngantuk aku tidak bisa menghitung hujan kali ini.
Tak ada mentari pagi ini. Awan mendung, entahlah kenapa. Aku malas beranjak dari tempat tidur namun bule berteriak-teriak, hingga mengagetkan seisi rumah. Aku menghampirinya diruang TV.
“Kenapa bule, ada apa?”
“Coba nduk liat berita itu,”
Aku sontak kaget melihatnya. Ternyata ramalan itu terjadi. Jakarta terendam. Tak ada yang tersisa, semuanya seperti laut, gedung-gedung bertingkat itu kini tak ada, semuanya musnah. Liputan itu diambil dari heli. Semua Warga diungsikan kedaerah terdekat diangkut menggunakan pesawat karena tak mungkin memakai jalur darat. Tak ada Jakarta yang dulu yang menjadi incaran para kaum urban. Semua lumpuh total, kesedihan tergurat dari wajah para warganya. Ini semua terjadi karena semalam Jakarta diguyur hujan.
Tanggul-tanggul jebol. Bogor sebagai kota serapan hujan tak mampu juga menampung hujan karena semuanya berubah menjadi villa. Laut-laut Abrasi, selokan meluap Jakarta kini lautan, gedung-gedung runtuh entah kenapa bangunan kokoh itu habis juga oleh air.
“Bule, seharusnya mereka yang ada di Jakarta menghitung hujan dan mengadakan pesta hujan,”kataku pelan.
Bule hanya terdiam dan meneteskan air mata, padahal tak ada sanak sodara disana.


1 komentar:

  1. Aku suka tulisan ini... Berasa banget. Dan, karena bahasa Jawa yang maksa itu. :)

    BalasHapus

Dengan mengirim komentar kita telah berbagi

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...