Jumat, 21 September 2012

Menghitung Hujan









Aku menatap hujan dijendela kamar. Aku mengitungnya tetes demi tetes. 1000 tetes ternyata, tiba-tiba Mirza hadir dibelakangku, pakaiannya basah kemudian dia tersenyum padaku dan berkata “2000 butir, kamu salah menghitung”. Aku tak peduli dengan kata-katanya, aku segera meraih handuk dan menyurunya untuk mengeringkan badan.
“Kebiasaan, main ujan-ujanan nanti sakit gimana, terus kalau ibu tahu pasti dimarahin,” aku memasang muka jutek, dia malah tersenyum sebari tangannya menggosok-gosokan handuk dikepalanya.
“Kalau aku sakit  ya enak biar dirawat sama kamu,”
“Aku mana sempet merawatmu, lagian mana aku mau,”aku masih memasang muka yang asam.
“Ekh, kamu selalu salah menghitung hujan, kamu tidak pandai untuk urusan yang satu ini,”
Kamu yang salah, tadi itu ada 1000, kamu kan gak ngitung mana kamu tahu,” kataku sambil menyodorkan teh hangat.
“Aku kan ujan-ujanan jadi aku tahu ada berapa tetes hujannya, dataku lebih akuratkan? Dari pada data yang kamu dapat hanya dibalik jendela,” Mirza masih keukeuh dengan argumennya.
“Kamu tidak mau ngalah, ya terserah kamu saja,”
Eits, hujan itu hidupku, mana mau aku menyerah padamu untuk mempertahankan hujan,”
“iyah, aku tahu,” Aku pergi meninggalkannya yang masih sibuk dengan teh manis hangat.
Hujan terus mengguyur kota Kembang ini, hujan yang dirindukan oleh semuanya. Hujan yang dinanti selama satu tahun.
Bahkan ada sebagian masyrakat solat istisqa untuk meminta hujan pada yang kuasa. Namun semua akan tiba pada waktunya, hujan akhirnya turun.
Tanpa hujan, sumur kekeringan, air satu gelas saja begitu berarti. Air ibarat emas yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang kaya. Mereka yang berpenghasilan pas-pasan tidak bisa memebelinya. Hujan seperti berkah pada hari ini, semua bersujud atas turunnya hujan.
Dan akupun begitu merindukan menghitung hujan. Bulir-bulir air itu laksana permata yang akan aku hitung.
Aku tak bosan menghitung hujan, ini hobyku sama seperti Mirza, tapi Mirza akan selalu bilang aku selalu salah jika menghitung hujan, dia yang merasa paling benar jika menghitung hujan. Aku tak peduli bagiku yang penting adalah menghitung hujan.
Aku tak mau diganggu jika sedang menghitung hujan, ini momen yang indah bagiku. Jangan tanyakan bagaimana  caranya menghitung hujan, hanya aku dan Mirza yang tahu, dan yang pasti ini rahasia kami berdua. Kami tak mau membocorkannya pada siapapun, kami takut kalian akan punya hobby yang sama dengan kami menghitung hujan.
Hujan pertama ini berkah, keesokan paginya aku meendapat telpon dari bule, ibunya Mirza di kampung. Bule bilang ada pesta merayakan hujan dikampung, semuanya membuat tumpeng dan akan berdoa ditengah lapang. Ini pertanda baik, semua penduduk kampung sudah bisa bercocok tanam lagi.
dan kekeringan akan berakhir. Aku senang mendengarnya dan penasaran dengan upacara hujan ini, seperti apa? Apakah akan lebih indah daripada menghitung hujan? Mirza tak pernah cerita ada pesta hujan, aku berniat ingin pergi kekampung Mirza melihat pesta hujan.
“Bu, aku ingin pergi kerumah bule, aku mau melihat pesta hujan”aku mengutarakan keinginanku dan berharap ibu mengijinkanku.
“Pergi sama siapa, Mirza ikut?”
“Gak tahu, aku belum nanyain sama Mirza,”
“Kamu masih saja penasaran dengan hujan, sudahlah berhenti mengagumi hujan,”
Hujan itu rahmat dari Allah bu, gimana aku gak kagum sama hujan, ibu bisa rasakan sendiri setahun kemarin tanpa hujan, gimana rasanya? Kering, mau mandi susah. Untung bu kita punya uang jadi bisa beli air. liat petani-petani di desa sana gagal panen karena gak ada hujan,”
‘Iya, ibu juga tahu. Tapi hujan juga akan jadi musibah,”
Lah, itu ya tergantung sama manusianya bu. Semua yang dari Allah itu rahmat, hanya saja akan jadi malapetaka ketika sudah nyampe ketangan manusia tang salah,”
“iya, wah kamu makin ngerti masalah yang seperti itu,”
Aku kan sekolah bu. Aku juga diajarin sama ibu untuk peka terhadap lingkungan, dan bersyukur sama rahmat tuhan,”
“ya nduk,”
Jadi gimana boleh gak aku melihat pesta hujan,”
“Ya terserah kamu, udah gede udah bisa jaga diri, sing penting kamu hati-hati salamin sama bulemu, ibu udah kangen sebenanya sama bule, tapi kerjaan ibu disini banyak to,”
Iyo ibu, ah ibu ya kalo yang dipikirin kerjaan ya gak akan selesai sampai kapanpun juga. Aku yakin bule pengen ketemu ibu  si mbah juga, udah lama ibu gak nengok si mbah,”
Nanti ibu pasti akan luangin waktu. Dengan kamu kesana juga kan sama dengan pengganti ibu,”
“Yo beda bu, anaknya si mbahkan ibu bukan aku. Mana bisa sama,”
Nduk, udah makin pinter aja kamu. Yowis ibu lagi males berdebat, kapan kamu mau berangkat ke Wonogiri?”
Lusa bu. Besok aku mau pesen tiket keretanya dulu,”
***
Muka berseri terpancar dari semua warga yang hendak merayakan hujan. Kemarin saat aku berjalan melewati kampung, sawah-sawah yang  mengering mulai digarap lagi. Tenaga para petani  itu akan mengubah butiran-butiran tanah menjadi padi-padian yang kemudian akan terhidang dimeja.
Terkadang aku berpikir perjalanan nasi menuju meja makan ternyata sangat panjang. Pertama dia hanya sebutir padi yang kemudian disemai oleh pak tani, setelah disemai padi itu tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam disawah yang subur, dan sebelumnya telah melewati proses pembajakan.
Setelah ditanam padi tersebut harus dirawat dengan baik, diberi pupuk supaya subur dan melimpah, jika hasilnya melimpah kita semua tidak akan kelaparan. Setelah ditunggu berbulan-bulan padi itu matang dan siap dipanen, para petani semangat melihat tanamannya dipanen. Setelah dipanen tentu tak akan langsung jadi nasi yang siap disantap diatas meja.
Padi itu masih harus melewati proses pengeringan dan masuk mesin  penggilingan agar menjadi beras, selesai jadi beras baru bisa dinanak menjadi nasi yang tersaji diatas meja.
Hari ini aku menemani bule kepasar  untuk berbelanja keperluan nanti malam.
Bule membeli bermacam-macam keperluan seperti ayam kampung, dan beberapa makanan ringan.
“Untuk pesta hujan harus nyiapin serepot ini ya bule?”
“Iya, ini rasa syukur kita sama gusti allah  hujan udah turun. Segini ga seberapa nduk, dibandingkan dengan rahmatnya,”
Bukannya musyrik ya bule kalo kita kayak beginian,”
Lah, musyrik gimana?”
“Iyah nantinya inikan dijadiin sesajen kan bule?’
Yo ndak toh nduk, bule beli ini bukan untuk sesajen, tapi untuk dibagikan pada tetangga dan yang datang dipesta hujan nanti,”
“Oh, aku kira ini untuk sesajen yang akan dikasih ke mbah apa gitu,”
“Walah ndok, jaman sekarang teknologi udah maju, walaupun bule tinggal dikampung tapi kan bule juga ngikutin perkembangan jaman,”
“iya bule, emang gaul”
Bule Darmi hanya tersenyum.
“Kita beli apa algi bule?”
Beli sirih buat si mbahmu,”
Aku tak sabar ingin menyaksikan pesta hujan ini, rasanya jika bisa aku ingin cepat memutarkan waktu. Ketika sedang membantu bule menyiapkan makanan untuk pesta hujan, tak lama  hujan turun aku segera ke jendela dan duduk melakukan ritualku menghitung hujan.
Nduk, lagi opo toh?”
Menghitung hujan bule,”
Kamu ini sama kayak Mirza, punya hobby kok menghitung hujan?”
“Seru bule.kalo bule udah nyoba pasti ketagihan,?
“Walah, nduk kayak bule gak punya pekerjaan lain aja harus menghitung hujan. Kalo ngitung duit bule mau,”
“Akh bule. Duit aja,”
Lah iya toh ndok, namanya orang hidup perlu duit. Orang-orang berlomba-lomba pengen duduk dikursi dewan, yang dicari apa? Yo duit toh?
Bule ngerti politik, aku sih ngertinya hujan aja,”
Yo uwis bule nyiapin dulu buat pesta hujan, kamu siap-siap gih,”
Nanti bule setelah menghitung hujan,”
Aku melihat bule berlalu kedapur, tuhan sepertinya tahu jika malam ini akan digelar pesta hujan. Hujan yang tadi begitu deras kini seolah-olah dihentikan. Aku membantu bule membawa makanan ke aula desa. Disana telah banyak sesepuh yang siap berdoa bersyukur kepada tuhan yang maha esa.
Setelah selesai solat isya doa tersebut digelar, semuanya terasa khidmat menunduk dan sebagian mengucapkan amien.
Setelah doa selesai, semua boleh memakan makanan yang disajikan. Banyak yang berebut dan terlihat lucu. Namun ternyata pesta hujan tak cukup sampai disitu. Para pemuda dan pemudi desa menanpilkan tarian Bedaya Tumuruning Wahyu Katresnan. Tarian ini dibawakan oleh 12 penari, dimaan Sembilan penari merupakan penari inti, dua penari membawa dupa dan seorang menjadi penembang.
 Sedangkan untuk  anak-anak kecil  bersolawat seperti sebuah khasidahan mengucapkan salam kepada nabi Muhammad. Dan kembang api bersinar diudara. Suara petasan menambah semarak pesta hujan. 
Tak hanya itu, sebuah pementasan drama dibawakan juga oleh sekelompok remaja yang tengah menginjak masa pubertas. Sebuah drama tentang hujan.
Ada seorang yang menjadi raja hujan dan awan. Raja hujan yang amat baik dan awan yang dendam. Terrnyata awan dendam pada manusia yang selalu mengotorinya, namun raja hujan teramat baik sehingga dia tidak mau mengabulkan permintaan awan untuk membalas dendam pada manusia. Drama itu sangat keren, entah siapa yang mengonsep drama itu, ternyata didesa kecil ini lebih peduli terhadap lingkungan. Pesta hujan selesai jam 12 malam.
Aku puas dan tidak sia-sia melihat pesta hujan ini. Malam ini akupun tidur diiringi dengan nada rintikan hujan, tapi karena ngantuk aku tidak bisa menghitung hujan kali ini.
Tak ada mentari pagi ini. Awan mendung, entahlah kenapa. Aku malas beranjak dari tempat tidur namun bule berteriak-teriak, hingga mengagetkan seisi rumah. Aku menghampirinya diruang TV.
“Kenapa bule, ada apa?”
“Coba nduk liat berita itu,”
Aku sontak kaget melihatnya. Ternyata ramalan itu terjadi. Jakarta terendam. Tak ada yang tersisa, semuanya seperti laut, gedung-gedung bertingkat itu kini tak ada, semuanya musnah. Liputan itu diambil dari heli. Semua Warga diungsikan kedaerah terdekat diangkut menggunakan pesawat karena tak mungkin memakai jalur darat. Tak ada Jakarta yang dulu yang menjadi incaran para kaum urban. Semua lumpuh total, kesedihan tergurat dari wajah para warganya. Ini semua terjadi karena semalam Jakarta diguyur hujan.
Tanggul-tanggul jebol. Bogor sebagai kota serapan hujan tak mampu juga menampung hujan karena semuanya berubah menjadi villa. Laut-laut Abrasi, selokan meluap Jakarta kini lautan, gedung-gedung runtuh entah kenapa bangunan kokoh itu habis juga oleh air.
“Bule, seharusnya mereka yang ada di Jakarta menghitung hujan dan mengadakan pesta hujan,”kataku pelan.
Bule hanya terdiam dan meneteskan air mata, padahal tak ada sanak sodara disana.


Jumat, 07 September 2012

Merasakan Sisa-Sisa Perjuangan di Monumen Mandala


Langkah kecil mengiringi kami untuk naik ke Bus warna putih yang bertulis Dinas Perhubungan. Beberapa teman segera mencari posisi duduk yang  nyaman. Bahkan ada yang berebut ingin dekat kaca karena udara Makasar yang panas, ditambah mini bus tersebut tidak menggunakan AC. Tapi semangat serta serta keceriaan tergurat diwajah kami, rasa tak sabarpun memenuhi setiap dada. Yah tak sabar ingin menikmati setiap langkah Kota Daeng.
“Sudah masuk semua,”kata Panitia.. “Fadli, belum tadi dia ke Wisma,” kata salah seorang teman.Yah hari ini adalah kegiatan terakhir Diklat Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Penerbitan dan Penyiaran (LPPM) Profesi Universitas Negeri Makasar dari tanggal 4-10 April 2012 dan diikuti oleh 20 peserta dari Pers Mahasiswa di Indonesia termasuk saya. Agenda hari ini keliling kota Makasar, rencananya ada 3 tempat yang akan kami kunjungi, Monumen mandala, Benteng Roterdam, serta Menikmati Sunset di Losari,  satu lagi beli oleh-oleh.
Setelah menunggu teman beberapa saat akhirnya dia datang, dan tak lama bus kami meninggalkan Wisma menelusuri jalan kota yang tak semacet Bandung. Tak jauh akhirnya kami sampai di monumen Mandala.Sisa Perjuangan Di Monumen Mandala masih terasa, sebagian teman langsung berlari dan menggunakan kesempatan ini untuk mengabadikan gambar. Di monumen tersebut tertulis nama-nama Tentara Republik yang gugur memperjuangkan Irian Barat.
Monumen Mandala menjulang tinggi di Jantung kota Makasar, sekitar setengah kilometer dari lapangan Korebosi. Monumen ini dibangun di tanah seluas satu hektare dan di resmikan pada 11 januari 1994. Peletakan batu pertamanya oleh Menko Polkam Soesilo Sudarman, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 Desember 1995.
Tak puas rasanya hanya memandang monumen ini dari luar saja, dan tentu kami sangat penasaran ada apa didalam monumen ini? Kami mendekati pintu, namun pintunya tertutup, yah mungkin karena para penjaganya istirahat, karena kami sampai disana sekitar pukul 13.00 WITA, saya melihat sekitar monumen itu sepertinya monumen itu kurang terawat dengan baik.Sektar monumen itu banyak tanaman liar yang tak terawat,  sungguh sangat disesalkan sebuah peninggalan sejarah yang tak terawat dengan baik.
Tak lama, pintu terbuka. Saya perhatikan pintu itu catnya sudah kusam, dan kayunya yang mulai mengelupas. Saya adalah salah satu yang sangat mencintai benda-benda bersejarah serta museum, jadi sangat interes sekali ketika memamasuki Monumen ini. Didalam monumen ini terdapat beberapa relief  dan 12 Diorama yang menggambarkan perjuangan para pahlawan kita untuk membebaskan Irian Barat. Bagi yang pernah mengunjungi Monumen Kesaktian Pancasila tak jauh berbeda dengan Monumen Mandala.
Kegigihan para pahlawan kita sanagat terasa disini, tapi sayangnya ada sebagian diorama yang lampunya mati, jadi kita tak bisa melihat dengan jelas gambar tersebut, dengan menggunakan Blitz Kamera, baru kita bisa melihatnya.
Saya kemudian naik kelantai 2, disana ada beberapa diorama juga relief yang menceritakan strategi yang akan digunakan untuk membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari tangan Belanda, jika naik kelantai 3  reflika pakain pasukan yang digunakan pada saat itu. Darah yang masih ada, menyisakan betapa mereka berjuang habis-habisan untuk negeri ini. Tapi, sisa-sisa perjuanagn mereka kini harus tersimpan diruangan yang atapnya sudah mulai rubuh, panasnya didalam begitu terasa, ternyata AC yang dipasang mati.
Tak lengkap rasanya jika tak menaiki sampai lantai 4, disana juga ada lift, namun kita harus bergilir untuk naik ke Lift dan dibatasi hanya  boleh berenam. Ada kejadian lucu, ketika saya dan sebagian teman sedang menunggu, liftnya terbuka lagi, kami pikir mereka telah turun kembali, ternyata lift it tidak bisa naik, dan penjaga museum dengan sabar mencoba kembali mengoperasikan lift  agar bisa naik.
Akhirnya giliran saya untuk naik, ketika pintu lift tertutup kami sudah siap, namun seperti kejadian semula lift ini tetap tak mau membawa kami keatas, dan kami disuruh naik dulukelantai 2 dan naik lift dari sana huahhh kenapa? Saya bertanya pada penjaga monumen dan katanya lift ini belum diganti sejak monumen ini diresmikan, coba kita itung sudah berapa lama? Pantas saja lift ini berjalan seperti itu. Selain itu juga ternyata lift ini baru beroperasi sebulan ini, sudah lama rusak dan tidak dibetulkan sehingga para pengunjung tidak bisa naik keatas.
Rusaknya lift terbayar oleh pemandangan dari atas monumen. Keindahan kota Makasar, terlihat jelas dari sini, dan lautt yang terhampar serta kapal-kapal yang berjejer seperti sebuah lukisan. Namun sayangnya, tempat diatas sangat panas karena AC mati. Karena monumen ini dibangun ketika presiden Soeharto memimpin negeri ini, maka disana sisa kenangan soeharto terasa. Banyak Diorama yang memperlihatkan Soeharto tengah memimpin sidang dll.
Ruangan diatas agak sempit, sehingga kami harus segera turun agar teman-teman yang lain bisa naik pula. Ketika turun ada salah satu lantai yang sempat terlewat, yaitu lantai 3, disini tak jauh berbeda dengan lantai 1 dan 2, ada dirama dan reflika serta foto-foto. Keadaan lantai tigapun jauh dari perawatan. Sebagian atap yang roboh, diorama yang lampunya mati, serta dinding yang catnya kusam.
 Kemudian saya kembali turun ke lantai satu, bergabung kembali bersama temn-teman yang lainnya. Saya bertanya pada teman yang asli dari Makasar, dia menunjukan kantor petugas, dengan semangat saya menuju kesana tapi sayangnya, bangunan yang tak terlalu luas dan nasibnya sama dengan Monumen Mandala itu tertutup rapat dan terkunci, sepertinya tak ada petugas yang berjaga disana. Saya terus berjalan kesamping kantor, disana ada banguna rubuh yang sangat tidak terawat, entah bekas apa, karena dinding-dindingnya sudah roboh dan banyak coretan yang tidak jelas, sungguh tidak etis memang.
Takut dicari sama para panitia dan peserta, saya kembali bergabung dengan mereka, yang tak lama lagi akan meneruskan perjalanan menuju Benteng Roterdam. Mengunjungi Monumen Mandala adalah pengalaman yang tak terluiskan, semoga pemerintah setempat mau memperbaiki fasilitas disana, agar anak cucu kita nantipun masih bisa merasakan sisa-sisa perjuangan para pahlawan kita. 

Kamis, 06 September 2012

Surat Buat #Alumni DJTL LPPM Profesi


Apa kabar kawan sudah lama kita tak berjumpa. Hmm alasannya memang karena jarak, seandainya aku punya sayap, mungkin malam ini aku ingin terbang ketempat kalia berada, kemudian kita berbagi cerita lagi seperti dulu, saat pertama kita saling bertemu. Masih inget kawan, saat itu kita baru kenal tapi entah seperti ada magnet diantara kita, tanpa ragu kita kemudian saling berbagi dan bercerita tentang keadaan masing-masing.
Makasar, sebuah kota yang indah telah menyatukan dan mempertemukan kita, aku percaya tuhan punya rencana kenapa kita dipertemukan dikota Daeng itu, tapi rencana itu memang menjadi rahasianya, biarlah rahasia itu tetap menjadi rahasia.
Seminggu, memang waktu yang sangat singkat, tapi waktu yang singkat itu telah mengikat kita,  kita merasa satu nasib dan seperjuangan, kemudian kita akan saling berkomunikasi dan saling menolong. Aku yakin jika suatu hari nanti aku ke Medan, setidaknya aku tidak perlu takut untuk kesasar dan tak usah bingung aku harus berlindung dimana, disana ada Fadli, Bang Maulana, Debora, kak erni, ka Tini dan Endah, oyah masih ada yang belum kesebut?
Menikmati senja di Losari, kemudiaan kita menyebrang sungai dengan bebek yang tak kunjung menjemput,  makan pisang epe dan coto tentunya adalah kebahagian yang tak terlukis, kemudian kita menikmati perjalanan menuju Bantimurung sambil bermain gitar, sampe senarnya putus dua, dan mungkin karena kebanyakan nyanyi hingga suara wilna hilang, masih ingetkah kalian tentang itu?
Mendapatkan ilmu dan bertemu dengan orang-orang hebat, tentu menjadi cerita yang tak akan terlupakan, dan ada cerita apa lagi? Jika aku bercerita disini mungkin gak akan habis sampai dua puluh halaman. Suara air terjun menambah hangatnya kebersamaan kita saat berbagi ilmu dan bercerita tentang Lembaga Pers Masing-masing. Selesai acara kita tidur di redaksi profesi, dan berbagi tempat dan temen-temen profesi yang gokil abis, seru rasanya walaupun aku kepanasan, karena suhu yang berbeda dengan di Bandung, waktu itu jika bisa aku ingin berlama lama dan masih menikmati waktu bersama kalian tapi sayang aku masih punya setumpuk pekerjaan di Bnadung. Bolehkah aku berharap jika suatu nanti kita akan menikmati coto dan senja bersama.. Dan aku juga berharap kalian yang belum atau sudah pernah ke Bandungpun bisa datang kesini, menikmati romantisme kota ini. Janji ya kawan dimanapun kalian berada ingatlah bahwa kita pernah bertemu, dan mengukir sebah cerita yang indah.

#aku menulis ini sambil dengerin lagu sheila on7 sebuah kisah klasik dan sahabat sejati.

Selasa, 04 September 2012

Surat Untuk #Dwi

Hello Dwi, kawan seperjuanganku. Terima kasih telah hadir dalam hidupku dalam 2 tahun terakhir ini, dan ini adalah tahun ketiga kebersamaan kita. Yah suatu kebersamaan yang aneh memang. Kenal denganmu bagiku kebahagiaan walalupun aku jarang mengungkapkannya. O yah maaf sore ini aku pergi, entah tiba-tiba aku ingin sendiri merenung dan mengerjakan sesuatu. Kemudian aku ingin menulis surat untukmu.
Dwi, banyak hal aneh yang telah kita lalui, dan itu menjadikan hidupku penuh berwarna, aku tak tahu kenapa aku bisa menjadi temanmu, dulu tak pernah sedikitpun terpikir dalam diriku akan sedekat ini sama kamu. Mungkin semua sudah ditulis tuhan, karena semuanya tidak ada yang kebetulan, kita bersama agar aku banyak belajar dari kamu. Kamu adalah teman yang hebat bagiku, walaupun kamu pemarah, tapi itu yang membuatmu berbeda, dan semarahnya kamu, aku akan jadi pendengar setia, tak tahu kenapa aku selalu senang mendengarkanmu marah. Kamu mungkin melihatku selalu semangat dalam mengerjakan segala sesuatu, tapi kamu tahu terkadang aku sangat rapuh, aku ingin menangis dan mengakhiri semuanya, tapi lagi-lagi saat aku kembali keruang tanpa titik itu dan bersamamu , harapan itu selalu hadir, harapan untuk terus berkarya dan merubah semuanya menjadi lebih baik.
Hey, kamu tahu kata-kata yang selalu kamu ngkapkan bahwa kamu seperti tak berarti apa-apa atau tak bisa pa-apa, itu ungkapan yang paling aku benci, karena kamu bagiku bisa lebih dari sekedar menulis atau ngedit, kamu bisa lebih faham tentang teman-temanmu, bahkan kamu lebih peka dengan kondisi mereka dibanding aku orang yang sangat cuek dan mungkin kalo katamu “tiis”, kamu rela berkorban untuk mereka, kamu selalu memuji semua eman-temanmu.
Aku yakin kamu akan bisa dan sangat hebat yang penting kuncinya mau belajar,  yah kamu sangat hebat, tapi sedikit “gila” hahhaa, biarlah kegilaan itu hanya aku yang  tahu. Banyak hal berwarna yang telah kita lalui, hujan-hujan bareng, pingsan ditengah hutan, tertawa dan menangis  bersama, dua tahun memamng waktu yang singkat, tapi jika kita menceritakan semua pengalaman kita mungkin akan lebih dari 10 lembar.
Dwi, janji padaku bahwa kamu gak akan melupakan aku, walaupun mungkin aku hanya butiran deu agimu hahaa. Dan dimanapun kamu berada suatu hari nanti  kamu akan teersu berkirim pesan padaku. Tetap jadi cewek tangguh yang mandiri, aku sanagat bahagia jadi temenmu. O yah siapkah berpetualang lagi, menaklukan semua permasalaahn serta badai yang ada. Semangat Kawan.  C U dwi,
NB: tau gak, cowok yang didepan aku cakep loh, hehehe

Minggu, 02 September 2012

Surat Untuk #Dian

Hello Dian, perempuan hebat yang menjadi sahabatku, kita bertemu pketika  kita sama-sama menjadi peserta Pelatihan Jurnalistik tingkat Lanjut Nasional di LPPM Profesi UNM Makasar, kegiatan singkat yang sama-sama kita rindukan dan jika bisa ingin sekali mengulangnya lagi dan bertemu dengan kawan-kawan kita lainnya ..
Apa kabarmu? apakah  kamu baik-baik saja? lagi suntuk bangetkan malam ini? aku tahu karena baru saja kita chat.  Tapi entah kenapa malam terasa berbeda jadi aku ingin menulis surat untukmu.  Dian, aku seneng banget bisa kenal sama kamu, walaupun pertemuan kita sangat singkat, hanya beberapa hari  di Makasar, kemudian kita bertemu lagi ketika aku harus melakukan sedikit pekerjaan  ke Semarang, dan dengan iklas kamu mau bantuin aku, makasih banget Dian.
Kamu tahu, aku senemg banget bisa kenal kamu, aku banyak belajar dari semangat kamu saat aku ingin berhenti bermimpi, berhenti menulis, berhenti reportase dan berhenti berada diruang tanpa titik yang sering kamu sebut warnet. Ketika kamu menunjukan semangatmu bercerita liputan untuk Manunggal  aku selalu termotivasi kenapa aku tak bisa melakukan hal itu, kenapa aku harus menyerah, toh jalan ini amsih panjang, dan aku harus berani melewati semuanya.
Dian, aku tidak pernah percaya dengan kebetulan, aku yakin semua itu telah ditulis tuhan, sama halnya dengan pertemuan kita, mungkin tuhan mengirim kamu agar aku selalu semangat, dan disaat aku jenuh editing tengah malam yang membuat kepalaku berputar, kamu biasanaay ada menghibur dan membuat aku tersenyum.
O yah Dian, sudah berapa lama kita tak berjumpa? Cukup lama? Maaf kemarin aku tak jadi ke Jakarta, karena lagi-lagi masih ada hal yang harus aku selesaikan. Aku ingin sekali bertemu denganmu dan mengajakmu kekota ini, kemudian kita pergi ke perternakan sapi membelikan susu untukmu. Haaa kamu walau sudah segede itu masih aja suka minum susu, dan sampai ke Jakartapun kamu bawa susu dari Semarang. O yah, aku suka dengan Semarang, walaupun panas, tapi aku suka sangat suka, semoga aku bisa kesana lagi, dan kamu harus ngajak aku ke Pagoda, janji yah.
Dian, janji padaku bahwa kita akan bertemu dan akan bercerita banyak hal, impian kita cerita reportase, nulis, buku dan hal-hal lainnya. Ok dian, sampai jumpa dikesempatan yang indah. Miss U


My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...