Merah, aku sebenarnya benci dengan warna merah, tapi kali ini merah itu telah masuk kedalam tubuhku.Akh aku muak melakukannya tapi ini satu-satunya caraku untuk menghapus bayangan-bayangan yang menghantuiku setiap malam, dan tiba-tiba kupu-kupu terbang menghampiriku, aku terbuai dengan rayuan mautnya aku menyerahkan seluruh jiwaku pada kupu-kupu yang berwarna belang itu.
“Dino, apa kamu tak bosan dengan hidupmu?” tanya bunda saat membuka pintu , akh bunda apa yang harus aku jawab. Aku hanya terdiam kemudian mengecup pipinya dan segera kekamar.
Bosan? Apa yang harus aku bosankan? Aku lebih bosan melihat kemunafikan, dan lebih bosan melihat lilitan ular-ular, aku nyaman dengan hidupku, tapi apakah benar seperti itu? Aku tak yakin, namun rasa penat dikepalaku mengalahkan pemikran yang terpenting itu aku segera menghempaskan tubuhku diatas kasur yang empuk, dan tak lama aku menyalakan AC kamarku. Mataku terpejam tak lama aku kembali dihantui sosok bayangan yang menjadi korban kemunafikan.
“Tuan, kami harus kemana? Kami tak punya tempat tinggal apa tuan tega?” kata-kata pak tua tadi siang, saat mentari tengah dipuncak kepala, aku tak mengenalnya namun sorot matanya sangat memancarkan kesedihan, dan disebelahnya berdiri anak kecil yang terus memegang baju sang kakek dia seperti berkata bahwa aku manusia biadab. Iya, aku manusia biadab yang bodoh, aku tak bisa menjawab ataupun berkata apapun, aku yang lulus di Pert Univercity kini bagai kucing yang bodoh, dan kemana kewibawaanku? Hilang dihadapan kakek tua yang mungkin saja dia tak pernah memakan bangku sekolah atau bahkan tak bisa membaca ataupun menulis.Aku terlihat pintar, dengan percaya diri aku menjawab pertanyaan para profesor namun dihadapan sang kakek tua aku tak bisa berkata-kata, mulutku terkunci, lidahku kelu.
Tak hanya kakek itu, kini nampak jelas didepan mataku puluhan orang bercucuran air mata sambil mengangkut barang—barang mereka sesekali mereka beradu mulut dengan para petugas, akh lagi-lagi para pembantu pemerintah itu bertindak kasar, mereka tak berhati nurani dan bagaimana dengan aku? Apa bedanya aku dengan mereka? Lintah yang kejam, dan jarak 30 meter dihadapanku anak kecil menjerit-jerit histeris saat benda raksasa menghancurkan bangunan-bangunan semi permanen yang selama ini ditempati.
Aku? Orang yang lulus dengan predikat cumload, yang diagungkan dosen-dosen hanya diam menatap semua itu, pergolakan batinku semakin terasa. Aku orang yang gak punya perasaan? Mana keadilan yang dulu sering aku agung-agungkan? Tak jarang aku menghujat para pejabat, karena mereka tak punya hati, dan kini sama aku juga tak punya hati, dan mereka pasti akan mencaci dan mengumpatku , akhhh aku manusia bodoh yang buta dengan uang.
Tak bisa aku menyaksikan semua ini lama-lama, aku memutuskan untuk tak menyaksikan pertunjukan konyol yang menggolak batinku. Akh lagi-lagi gelas merah itu yang mampu menghilangkan rasa penat dan meredamkan gejolak batinku.
****
“Bagaimana proyek kita Dino? Jangan lupa nanti siang ada meeting” tanya Lintah, hah? Itu pasti yang ada dalam pikirannya, dia hanya berpikir bagaimana caranya pundi-pundi rupiah masuk kekantongnya, apapun akan dia lakukan dia akan bekerjasama dengan ular yang dengan licin bergerak kemanapun yang ia mau untuk membantu sang lintah mendapatkan mangsa , kemudian tanpa melihat siapa yang jadi korbannya lintah itu akan terus menghisap, dan aku? Pantasnya aku disebut apa? Aku tak jauh beda dengan mereka berdua, kami hanya kawanan penghuni kebun binatang pintar.
Aku tak hadir dalam pertemuan para penghuni binatang itu, walaupun sebelumnya sekertarisku telah mewanti-wati bahwa itu adalah pertemuan yang sangat penting, yah pertemuan yang akan memastikan sukses tidaknya mereka mendapatkan mangsa, kalau sukses ular akan tertawa dan terus bergerak lincah, dan sang lintah apa yang akan kita lihat? Tubuhnya semakin besar, untuk bergerak saja susah namun tawanya mampu memecahkan gendang telinga, dan jika gagal? Dia dia akan marah, semua kawanannya yang ada dikebun binatang akan keluar dari mulutnya, akh aku benci menyaksikan pertunjukan hewan-hewan itu, aku ingin segera pergi, namun jika aku melepaskan semuanya. Aku akan kehilangan derajatku, karna ini pekerjaan yang sangat diimpikan oleh semua kawan-kawanku mereka akan berkata
” Dino, kamu bodoh semua orang sangat memimpikan jabatanmu, sudah dua tahun aku kerja namun apa? Hanya kepala bagian, kamu beruntung bekerjalah yang baik ini prosfek yang sangat bagus Dino’’
Semakin muak rasanya, kata hatiku terus berkata aku sangat jahat, aku mengambil kebahagiaan mereka, tangis pilu yang sering aku lihat, pekerjaan macam apa ini? Yah pundi-pundi rupiah memang masuk dan menggendutkan rekeningku.
Matahari sedang diatas kepala, menambah rasa panasnya kota Jakarta yang sudah kehabisan beban, jika bisa bicara pasti dia akan berkata “maaf saya sudah kehabisan beban silahkan kalian mencari tempat lain yang massih bisa menerima beban, mereka sangat kesepian dan butuh orang-orang pintar seperti kalian, terkadang mereka bercerita dan iri padaku aku hanya ingin berbagi dengan mereka namun sayang manusia-manusia pintar ini tak pernah mengerti”.
Aku terus berjalan tanpa arah, suara Hand phone yang berdering panggilan dari lintah maupun ular tak aku hiraukan, aku capek dan telingaku seakan pecah mendengar suaranya, lama-lama aku lempar Hpku, dan kakiku terus melangkah menembus teriknya matahari, tak terasa mentaripun kini menyerahkan tugasnya pada bulan, aku masih terus melangkah, arah? Hah tak ada arah maupun tujuan bagi hidupku saat ini, kakiku berhenti saat melihat taman-taman yang indah dan kupu-kupu tengah berterbangan, aku lelah aku terdiam dan membantingkan tubuhku diatas rumput-rumput, aku tak tahu apa yang terjadi hilang dan gelap hanya senyuman bunda yang aku terakhir aku lihat saat aku wisuda S2, namun selama dua tahun terakhir in aku tak pernah melihatnya, hanya wajah kesedihan yang sering terpancar perempuan hebat itu lagi-lagi harus menagis karena permata hatinya, namun tak lama senyuman itu hilang entah kemana dan semuanya terlihat gelap.