Kamis, 30 Agustus 2012

Deden si Pengamen


Sore yang melelahkan setelah pulang kerja, huhhh sudah beberapa hai ini saya bekerja di pasar baru, yaitu salah satu pusat perbelanjaan di Bandung, saya bekerja sebagai  pramuniaga, o yah jangan tanya seperti  apa rasanya? Capek sudah tentu, sabar harus namanya juga melayani orang. Huft tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan, saya ingin bercerita tentang  Deden, pengamen yang saya temui  sepulang kerja. Saat itu saya sedang menunggu buka puasa bersama teman, kemudian dia menyanyi, saya tanya namanya siapa, dia bilang Deden. Deden sudah tak sekolah, kemudian saya tawari dia untuk belajar di Rumah Mimpi, dan dia menyambut baik tawaran saya. Beberapa hari kemudian, saya ketemu lagi dengan Deden, dan dia bertanya tentang rumah mimpi tersebut, dia bilang dia tak menemui tempat dimana Rumah Mimpi sering belajar, kemudian saya ajak dia ke Jembatan Penyebrangan di Asia-Afrika. Sepanjang jalan Deden becerita tentang keluarganya.
Deden seumuran dengan adik saya, sekitar 12 tahun dia sudah tak mempunyai ibu dan ayahnya menikah lagi. Dia bilang ibu tirinya galak, bahkan bajunya pun pernah dibakar. Ayahnya tidak bekerja yang menghidupi keluarganya yaitu ibu tirinya dengan berjualan boboko (bakul). Deden diurus dari kecil oleh neneknya yang tidak bisa melihat, sekarang neneknya di rawat oleh bibinya. Tiap hari Deden mengamen, uangnya dia kumpulkan untuk menghidupi neneknya. Dengan bangga dia bercerita telah membelikan baju lebaran untuk nenek dan bibinya, sedangkan untuknya dia bilang belum. “ah abdimah wios teu meser acuk ge, anu penting mah nini sareng bibi, karunya,” katanya, yang artinya saya gak apa-apa gak beli baju baru juga yang penting nenek dan bibinya yang telah mengurus neneknya. Nenek Deden itu tidak bisa melihat, sehingga harus dirawat an bibinya yang brsedia mengurus deden, sedangkan deden bertugas mencari uang untuk menafkahi mereka.
Deden sudah tak punya gitar dan gendang, dulu dia sempat punya namun dia jual karena tak ada uang. Setiap hari deden tdur di emperan toko dan 3 hari seklai dia pulang ke majalaya, rumah neneknya. Yang penting bagi deden adalah punya uang untuk neneknya. Dia pernah sekolah Dasar sampe kelas enam, namun ketika sekolah dia sering olos, karena orang-orang disekitarnya sering berkata buat apa sekolah tos presiden sudah ada, tentara ada, polisi juga ada, dia mengikuti perkataan orang-orang tersebut. Aku sempet bilang kedia, bukankah presiden dan tentara yang sudah ada itu akan tua kemudian meninggal, jika seperti itu siapa yang akan menggantikan mereka? Dede hanya diam, dan dia bertanya lalu buat apa sekolah, bukankah pada ujungnya kita mencari uang? Ya bukannya lebih baik mencari uang dari sekarang, aku jawab saja agar kita dihargai orang, dan pinter sehingga tidak ditipu orang dari situ dia bersemangat untuk belajar, namun malu katanya. O yah deden bercerita walaupun dia sempat sekolah namun dia tidak pandai membaca, dan dia juga bisa baca al-quran namun karena sudah lama tidak membacanya jadi terbata-bata sekarang. 
Deden merasa malu untuk bergabung di Rumah Mimpi, namun aku janji akan mengantarnya dan mengenalkannya pada teman-temannya. Satu hal yang aku sesali dari deden, dia merokok, ya tuhan anak seumur itu sudah mengenal nikotin.  Cerita seperti ini bukan hanya Deden saja, tapi pasti akan ada deden-deden lainnya yang harus kita perhatikan, karena mereka adalah penerus bangsa ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dengan mengirim komentar kita telah berbagi

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...