“Aya kasono aya katresna
Aya kadeudeuh aya kanyaah
Ngabagi rasa bungah jeung bagja duaan
Sisi laut Pangandaran” (Doel Sumbang, Pangandaran)
Pangandaran, nama yang sudah tak asing lagi bagi saya, apa lagi ketika beberapa tahun silam Pangandaran sempat digoncang oleh Tsunami, nama daerah ini menjadi terkenal di pelosok negeri. Sudah dua kali saya datang ke daerah ini, pertama ketika resepsi teman, dan yang kedua acara Baksosnya kampus saya. Pengalaman kedua sangat menarik.
Berangkat dari Bandung sekitar pukul 11.00 WIB beserta rombongan Ukm sekitar 75 orang, menjadi perjalanan yang cukup melelahkan. Tak ada pemandangan yang istimewa sepanjang perjalanan selain jalan yang berkelok-kelok, dan persawahan.
Sekitar pukul 17.00 WIB akhirnya sampe juga di Pangandaran, dan segera masuk kamar yang telah dibagai sama seksi Logistik. Walaupun perjalanan yang cukup melelahkan, tapi suara deburan ombak sepertinya lebih menarik dari pada tidur.
suara ombak bak alunan biduan yang sangat merdu, awan begitu beraturan dengan gugusan putih diatas pantai pangandaran, nyiur melambai-lambai seolah menyambut dengan suka cita.
Saya menyukai alam, tak ada yang bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur selain alam yang diciptakan tuhan dengan sangat sempurna. Deburan ombak, hembusan angin adalah kenikmatan yang tiada tara. saya terus berjalan menyusuri pesisir pantai, tak lamaa ada beberapa teman menyapa dan akhirnya foto bersama.
Saya duduk sejenak diatas perahu, memandang sekilas wisatawan yang asyik berselancar, anak-anak yang berlarian dan bermain bola, atau orang yang hanya sekedar berdiri menikmati keindahan pantai. Hanya sebentar saja, lalu mataku terpikat pada senja dilaut lepas, sayang sekali sore itu awan sedikit mendung tak bisa melihat indahnya sang surya yang akan meninggalkan bumi ini, tapi tetap menakjubkan bagi saya. Adzan berkumandang saatnya meninggalkan pantai dan melaksanakan kewajiban pada sang Khalik sebagai rasa syukur atas nikmatnya.
Pembukaan Baksos
Tidur yang singkat rasanya, akh masih ingin sekali menarik selimut dan tidur satu jam lagi, tapi alrm telah bunyi dan harus siap-siap bergegas menghadiri pembukaan baksos di kecamatan Cijulang, yang harus ditempuh dalam waktu 1 jam dari Pangandaran.
Lengser saat penyambutan tamu |
Mendung menggelayuti awan pangandaran, wah malah menambah rasa kantuk, tapi harus tetap semangat demi menjalankan tri drama perguruan tinggi. Ada cerita lucu ketika hendak pembukaan. Kami pikir bisa menempati kursi yang telah disediakan ternyata kami disuruh keluar dan menunggu diluar halaman kantor kecamatan karena akan diadakan upacara penyambutan tamu.
Alam tengah tak bersahabat bagi kami, tak lama turun hujan dan kami berlarian mencari tempat untuk berteduh, menurut penuturan masyarakat setempat sudah tak asing lagi jika ada tamu maka akan turun hujan, menurutnya ini merupakan bentuk penyambutan.
Upacara adat penyambutan dimulai, kami dijemput oleh ki lengser yaitu ikon penyambutan tamu undangan dalam adat sunda. Ki Lengser memiliki peran sebagai tokoh kakek yang menajdi panutan, namun selalu bertingkah lucu disetiap gerakan tariannya sehingga banyak mengundang gelak tawa tamu yang hadir.
Persepsi yang berkembang di tataran masyarakat pasundan samapi saat ini, Ki Lengser adalah sosok orang tua yang penuh dengan wibawa. Pakaian kebesarannya hanya celana pangsi dan baju kampret hitam dengan beberapa aksesoris yang dikenakannya. Di pergelangan melilit gelang bahar ala seorang Jawara dengan beberapa batu ali (akik) yang melingkar dijemarinya.
Dan yang lebih khas lagi adalah ‘totopong‘ (ikat kepala) yang penggunaannya sangat berbeda dengan ikat kepala yang dikenakan pada umumnya serta ‘kaneron’ (tas anyaman) yang menyilang dipundaknya. Dan ki lengsernya saat itu diperankan oleh anak SD.
Rampak Kendang |
Tak hanya upacara sambutan, namun kamipun disuguhkan sajian musik tradisional yang sangat indah yaitu Rampak Kendang. Rampak Kendang merupakan sajian kesenian yang memainkan kendang (Gendang) lebih dari satu perangkat secara bersama-sama. Rampak dalam bahasa Sunda berarti bersama-sama atau serempak, sehingga Rampak Kendang berarti bermain kendang secara serempak. Selain itu pula pada permainan Rampak Kendang ini ditampilkan pula keceriaan para pemainnya. Anak SD yang memainkan rampak kendang tersebut begitu luwes, akh jadi iri karena tidak bisa memainkan alat musik tradisional.
Tak hanya anak-anak SD yang berpartisipasi dalam menyambut kami, ibu-ibu pegawai kecamatanpun telah bersiap-siap mengalunkan suaranya menyanyikan Mars Ciamis dengan semanagatnya, tapi sayang saya tak mengikutinya sampai selelsai karena harus meluncur ke tempat pengobatan gratis.
Wah penuh dengan kekayaan tradisi ala Pasundan ya? ok, keep on writing!
BalasHapusiyahh, masih banyak lagi budaya di tanah Pasundan, Maksih :)
BalasHapus