Sabtu, 28 Juni 2014

Esok


foto by kompasiana/ernasumirna
Aku akan tersenyum menyambut matahari
Esok
Aku akan berlari menuju pintu harapan
Esok
Aku akan berjalan menuju puncak
Esok
Aku akan menggenggam harapan
Esok
Aku akan menggapai bintang
Esok
Aku akan terus bermimpi
Esok ,, esok,, esok,,

Aku tak akan diam


Kamis, 19 Juni 2014

Senja Si Pengantar Rindu

bersepeda di pantai Pangandaran
Aku adalah senja, si pengantar rindu. Jika kamu rindu coba kamu ceritakan padaku aku pasti akan menyampaikannya. Aku adalah senja si pengantar rindu dua kekasih yang berjauhan. Aku adalah saksi saat mereka berciuman melepaskan kekasihnya, aku juga saksi saat sang kekasih setia menunggu kekasihnya.

Aku adalah senja si pengantar Rindu pada malam. Aku akan mengatakan pada malam jika ada seseorang yang selalu memimpikan kekasihnya. Aku selalu mengatakan pada malam agar ia berbaik hati mengantar wanita pujaannya  dalam mimpi kekasihnya.

Kamu tahu rasanya rindu? Kata mereka yang menitip rindu padaku rindu itu seperti angin begitu terasa hembusannya tapi tidak bisa menangkapnya. Katanya rindu pada kekasih, begitu terasa sampai menusuk hati tapi kamu tidak bisa memeluknya.

Aku adalah senja si pengantar rindu yang mengintipmu saat kau malu-malu bertemu dengan pujaan hatimu. Saat mulutmu beku karna kamu tak berani mengatakan seluruh isi hatimu, padahal kamu sebelumnya ingin bicara banyak.

Aku adalah senja si pengantar rindu yang selalu membisikan kata-kata cintamu pada kekasihmu yang jaraknya ribuan kilo meter darimu.

Aku adalah senja si pengantar rindu, yang akan membisikan kata-kata cinta pada kekasihmu.

*ditengah-tegah rasa penat mengerjakan skripsi dan tetiba rindu pada senja. Selamat menikmati senja hey...

Kamis, 05 Juni 2014

Kisah Embun



Ini kisahku. Kisah embun yang tidak terlalu menarik. Kau pasti mengenalku kecuali bagi mereka yang terbangun saat matahari sudah di puncak. Aku lebih dekat dengan mereka yang sering kalian sebut petani. Atau segerombolan anak-anak yang berpakaian seragam putih merah yang harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu dengan guru.
Aku hanya setetes air. Mana kau akan peduli padaku. Aku bukan lautan yang akan mendendangkan suara merdu. Aku hanya setets air yang akan menghilang saat matahari mulai datang kebumi ini.

Aku tidak terlalu tahu cerita tentang anak kota. Seperti yang sudah aku bilang, aku hanya mengenal mereka yang bangun saat matahari masih mengintip bumi dengan malu-malu. Aku tidak terlalu penting, aku tidak akan menyuburkan tanah seperti hujan yang kau bilang romantis. Aku hanya setes embun. Jika hujan saat malam datang, pasti kau berfikir aku tak ada? Padahal aku tak pernah absen setiap hari menetes diantara daun-daun dan jendela kamarmu. Entah kau senang atau tidak atau kau tidak peduli.

Aku embun. Saksi petani yang mulai berjalan di kelegapan. Kakinya terus melangkah dan dengan muka yang bersinar. Dia akan pergi meengolah tanahnya menunggunya hingga panen walaupun kadang jagungnya dimakan tikus, tapi petani itu tidak menyerah. Dia akan terus datang ke  ladang itu, mengolah tanah, memupuknya dan menunggunya hingga panen. Kau pikir panen itu memberikan kebahagian tentu saja tidak selamanya. Kadang petani itu hanya bisa menggigit jari saat harga dipasar tidak sesuai dengan modal yang dia keluarkan. Seperti yang sudah aku bilang tadi petani itu tidak menyerah dia tidak pernah pensiun menjadi petani. Hingga tubuhnya sudah bungkukk dia masih tetap datang keladang itu. 

Makanya aku heran sama mereka yang katanya berpendidikan tinggi tapi menyerah ditengah jalan saat ada masalah. Maaf ya aku so tahu padahal aku hanya setetes embun.
Apa kau pernah menyentuhku? Merasakan kehadiranku? Kata sebagian orang aku menyejukan. Atau akulah memberikanmu rasa dingin hingga kau enggan beranjak dari kasurmu? Entahlah yang pasti aku selalu melaksanakan tugasku, tugas untuk turun ke bumi ini dengan perlahan, aku tidak protes pada tuhan walau sebenarnya aku ingin menjadi laut atau hujan.

Kenapa aku tetap ingin menjadi embun? Karena aku mencintai daunku. Aku rela terbang terbawa angin berpuluh kilometer untuk bertemu daun jelita yang terus hadir didalam mimpiku.  Aku bukan perayu, aku hanya sang pencinta.
Aku harus menemukan daunku. walau aku pernah putus asa karena tersaruk-saruk desak pohon dan menyibak ranting , tapi aku belajar pada kisah petani yang tak pernah menyerah. Ah cinta selalu memberikan kekuatan.  Hingga ku temukan daun jelita itu. Aku mendekapnya disisa kekuatanku, aku tak ingin matahari segera tiba, aku ingin tetap bersama daun jelitaku.

*Selamat pagi. Ditulis karna beruntung hari ini bisa bangun pagi dan merasakan sejuknya embun. Sebenarnya tengah rindu juga merasakan embun diantara dedaunan (kangen rumah)

My Oktober Journey

Hey Oktober Luar biasa yah dibulan ini, ah nano-nano sekali. Meskipun tiap weekend ga sibuk event tapi di Oktober ini aku jadi sering pergi,...