Aku melanjutkan perjalananku menuju gunung Bromo. Ini
adalah salah satu resolusiku di tahun 2013. Dan ternyata memang benar jika kita
bisa menulis impian kita maka alam akan bekerjasama mewujudkannya. Sebelumnya
aku tidak menyangka akan melakukan perjalanan ini dan bagiku perjalanan ini
sungguh sederhana tapi luar biasa. Bukankah kesederhanaan itu yang akan
membentuk keluar biasaan. Aku berangkat dari Surabaya ba’da dzuhur menggunakan
motor. Ini juga diluar rencana, awalnya
akan ke Malang dengan kereta, tapi untuk mengirit dana transportasi dan
keadaannya mendukung menggunakan kendaraan roda dua menjadi sangat menyenangkan.
Perjalanan panjang dimulai, aku tidak
begitu hapal arahnya kemana yang pasti kita melewati Sidoarjo dan sempat
berheti disana untuk melihat lumpur lapindo. Aku kira kesana grstid eh ternyata kita harus mengelluarkan ang 5.000 rupiah
perorang. Semoga
uangnya bias bermanfaat untuk para korban.
Lumpur Lapindo |
Kasus ini memang belum tertangani, banyak yang
mengalami kerugian, dan entah siapa yang harus bertanggung jawab, karena
semuanya seperti cuci tangan. Namun ada sebagian keluarga yang telah
mendapatkan haknya. Lumpur luas itu mengingatkan aku satu hal bahwa segalanya
memang milik Tuhan, apa yang bisa disombongkan oleh manusia, hanya karena
lumpur yang dianggap awalnya sepele manusia kehilangan harta benda yang
berharga.
Jalanan yang lurus membuatku merasa perjalanan ini
sungguh panjang dan entah akan berujung dimana. Motor yang kami kendarai
memasuki Gapura Selamat datang, kemudian meninggalakannya begitu seterusnya.
Karena merasa lelah dan sudah waktunya solat ashar
akhirnya kita berhenti di sebuah peristirahatan untuk melemaskan otot-otot
sejenak.
Kita kembali melanjutkan perjalanan disana tertulis
20 km Gunung Bromo. Hatiku sudah riang
dan berbisik pada Ega, sebentar lagi. Motor terus dipacu dan akhirnya kami tiba
di pertigaan menuju gunung Bromo. Ada insiden kecil disana, saat kami menepi
tiba-tiba ada motor yang membawa kawat panjang menyeruduk kami. Kawatnya yang
menggores membuat kami kaget, dan si bapaknya hampir saja terjatuh. Kami kaget
sekaligus lucu dan tertawa sejenak.
Perjalanan menyusuri pemandangan yang bagus dimulai.
Kiri kanan kami adalah sawah yang terhampar. Dan disana aku bisa melihat puncak
Mahameru yang luar biasa. Udara dingin mulai terasa, tapi aku menikmatnya
sebagai bentuk rasa syukur karena ini yang dirindukan selama di Surabaya.
Jalannanya tidak selurus yang tadi kami lewati, nain turun dan berkelok.
Sesekali aku lihat sinyal di HP kadang SOS. Kami terus melewati beberapa desa,
hingga akhirnya sampai di perkampungan Suku Tengger. Disini sudah banyak warga
yang memiliki homestay duduk dan menawari kami. Awalnya kami kaget mendengar mereka
berteriak-teriak, kami pikir ada apa ternyata menawari homestay. Kemudian ada
satu motor yang mengikuti kami dan menawari homestaynya. Dia menawarkan harga
kemudian tawar menawar terjadi tapi dengan catatn tidak deal sebelum melihat
kamarnya. Kita turun lagi dan melihat kamar yang ditawarkan.
Namanya Pak Udi, dia punya dua rumah yang satu kita
hanya bisa menyewa kamarnya saja tapi yang satunya kita menyewa satu rumah.
Karena masih penasaran kami mencari homestay yang lain dan mungkin ini salah
satu strategi agar konsumen tidak lepas, pak Udi menawari rumah kakeknya
diatas. Kami ikut saja, dan ternyata fasilitas yang ditawarkan jauh berbeda.
Disana tidak ada TV walaupun sebenarnya aku tidak terlalu suka nonton TV tapi
pasti terasa sepi selain itu kasur disana
tidak nyaman sangat keras. Kami tertawa saja dan menyetujui penawaran pertama.
Ukuran rumahnya sederhana, ada 3 kamar tidur, satu
ruang tamu, kamar tengah, dapur dan kamar mandi. Rumahnya sangat nyaman, bersih
dan tertata. Apa lagi ada dapur ada rasa menyesal kenapa tadi tidak belanja
dulu tahu kayak gini mungkin aku bisa memasak. Yups memasak adalah hobyku,
entah kalau melihat dapur tuh bawaannya pengen masak.
Kamar mandinyapun dilengkapi air panas, jadi ini akan
membuat betah dikamar mandi. Aku dan Ega memilih tidur diruang tengah,
sedangkan Mahfud dan Nila dikamar satunya. Udara yang sangat dingin membuat
kami sempat rebutan selimut, dan untungnya aku bisa mempertahankan selimutku.
Sepertinya sudah senja, tapi aku tidak melihat matahari disini semuanya sudah
tertutup kabut. Pak Udi juga menawarkan jasa tour Guide pada kami, karena kami
tidak tahu arah dan baru pertama maka deal kami menggunakan jasanya. Pak Udi
berjanji pukul 4 dia akan membangunkan kami agar tidak ketinggalan melihat matahari terbit.
Didepan rumah ada anak laki-laki yang menenteng
barang jualan, ada syal, kupluk, sarung tangan dan lainnya. Ega menawariku
untuk beli, sebagai kenang-kenangan katanya. Aku juga sepakat kemudian kita
memilih salah satu kupluk. Aku bertanya pada anak itu dia masih sekolah ataua
tidak itu sudah menajdi kebiasaanku, ternyata dia masih kelas dua SMP seumuran
dengan adikku.
Setelah itu aku kemudian membersihkan diri, mandi
dengan air hangat tentunya sebenarnya ingin pakai air dingin biar terasa
sensasinya namun inget kalau aku punya alergi dan takut Flu sepanjang malam
terpaksa memakai air hangat. Setelah memakai piyama, baju hangat dan syal aku
dan Ega mencari makanan ke bawah. Disana kami menemukan warung dan memesan ayam
goreng serta teh panas. Disini rasa tehnya sungguh khas dan enak, baru kali ini
aku merasakan rasa teh yang seperti ini.
Jam masih menunjukan pukul 8, tapi serasa
sudah tengah malam, sunyi dan sepi. Selesai makan hanya mengobrol sebentar
dengan Ega, Mahfud dan Nila, kemudian bergegas menuju balik selimut karena
udara yang begitu dingin. Aku tidur sangat lelap, mungkin karena capek atau
memang nyaman sampai tak terasa tiba-tiba ada yang mengetuk jendela.
“Mbak, bangun ntar ketinggalan Sunrise,” katanya.
Sepertinya itu suara Pak Udi, aku melitrik jam di HP masih pukul 3, ah itu lagi
nyenyak banget terlelap. Ega sudah bangun duluan dan ribut menggedor kamar
Mahfud dan Nila. Aku diam saja dibalik selimut memejamkan mata beberapa menit,
kan lumayan.
Ega segera ke
kamar mandi dan menyiapakn diri. Aku juga sama membasuh muka, menyikat gigi dan
mengganti baju. Setelah siap kami kemudian keluar dan melihat pak Udi sudah
siap. Pak Udi menyarankan kami untuk membeli bensin karena diatas pasti tidak
ada yang berjualan. Aku dan Ega mengikuti Pak Udi, hari masih sangat gelap dan
kabut masih tebal. Suasananaya begitu sepi. Pak Udi memarkirkan motormya
disalah satu penjual bensin. Rumahnya sepi sepertinya sang pemilik rumah tengah
terlelap dalam mimpi indahnya. Pak Udi mengedor pintu si pemilik rumah dan
memnaggilmya berkali-kali. Sesekali klakson dibunyikan tapi tetap saja tidak
ada jawaban.
Kami menunggu beberapa saat namun si pemilik rumah enggan
sepertinya atau memang tidak mendengar gedoran pintu dari kami. Tidak ada
pilihan kami memilih membeli bensin di tempat lain. Kami memacu motor menembus
dingin dan gelap. Kabut sangat tebal. Aku memeluk Ega dan bibir kami bergetar
ketika berbicara. Untuk menghibur diri seseklai kami tertawa tidak jelas karena
apa yang diucapkan tidak begitu terdengar. Jalan yang menanjak dan berkelok
membuat Ega kesusahan dan sempat motor kami mogok karena tanjakan. Aku terpaksa
turun.
Kami tidak ke penanjakan 1 karena tidak memungkinkan jika menggunakan
motor. Ami menunggu sunrise ditempat
yang lain. Sesampainya disana kami melihat segerombolan orang yang sepertinya
bersiap-siap melihat sunrise. Kami tiba disebuah bukit kecil disana ada seorang
perempuan yang menjajakan dagangannya.
Sambil menggosok-gosokan tangan kami menikmati pemandangan sekitar yang
masih tertutup gelap. Sambil menunggu kami berfoto. Kemudian matahari perlahan
akan menampakan wujudnya. Sehingga kami bisa melihat pesona Gunung Batok yang
menawan. Aku berjalaan-jalan sebentar sambil terus memandang ke ufuk timur
karena takut ketinggalan moment itu. Ini adalah pagi yang luar biasa dan baru
pertama kali aku menunggu pagi.
Mentari Terbit di Bomo |
Matahari perlahan keluar dari balik bukit. Semburan
cahaya kekuningannya menyiratkan keagungan Tuhan. Matahari adalah sumber
kehidupan bentuk tangan Tuhan yang luar biasa. Di menyemburatkan cahaya yang dinanti
oleh seluruh mahluknya. Dengan perlahan dan seperti putri yang malu-malu
menyibakan tirai yang menutupi wajahnya matahari keluar. Sungguh moment yang
luar biasa. Aku bersyukur tiada tara atas keagungan Tuhan ini. Tuhan begitu
baik padaku sehingga aku diberikan kesempatan untuk melihat keagungan Tuhan
pada hari ini.
Seraya memperhatikan terbitnya Matahari, segerombolan
wisatawan dari Malaysia datang. Aku berkenalan dan ngobrol dengan mereka sebari
memeperkenalkan tempat-tempat yang tidak kalah cantiknya di Indonesia.
Setelah melewati moment tersebut, kami turun dan
mencari sarapan. Sepiring nasi goreng cukup membuat kenyang dan membuat tubuh
kami siap melanjutkan perjalanan selanjutnya. Selesai itu kami menuju pasir
berbisik. Hamparan pasir di kaki Gunung Bromo ini bak di Gurun pasir, mungkin
bisa dibilang ini gurun pasir mini.
Hamparan Pasir ini sungguh membuat ban motor kami agak kesulitan hingga tak heran kami ketinggalan oleh Pak Udi ataupun Mahfud. Namun bagiku ini menjadi
kesempatan untuk merasakan hangatnya matahai dan sejuknya udara di hamparan
pasir.
Setelah Sampai aku tidak mendengar pasir bersbisik karena anginnya yang
kurang kencang. Setelah puas berfoto disana kami melanjutkannya ke patung
Singa. Awalnya aku melihat itu hanya batu biasa saja, tapi jika diperhatikan
dengan sekama memang mirip Singa. Saat bertanya itu bukan pahatan memang sudah
aslinya seperti itu. Jangan lupa juga untuk berfoto di Savana. Bukit yang hijau
dengan rumput yang pendek menjadi pemandangan yang tidak kalah menawannya.
Setelah melewati itu semua, saatnya untuk naik melihat
kawah Gunung Bromo. Selain jalan kaki ada alternatif lainnya yaitu dengan
menggunakan Kuda. Awalnya aku tidak akan menunggangi kuda karena mungkin saja
harganya mahal. Namun moment ini mungkin tidak akan terulang lagi. Awalnya si
yang punya kuda menawarkan harga 150 blak-balik, namun kami menawarnya hingga
150 pulang pergi dan dua kuda.
Menunggangi kuda gak deg-degan bagiku. Ini kali
pertama setelah dewasa, dulu aku sangat suka naik kuda tapi lupa bagaimana
rasanya. Nama kuda yang aku tunggangi Rambo. Dia adalah kuda yang ramah tapi
membuatku deg-degan. Setiap bertemu dengan temannya dijalan dia mengeluarkan
suara dan kakinya agak menghentak-hentak ke tanah. Tentu saja itu membuat
jantungku berdegup kencang dan sesekali bertanya pada yang memeganginya, tapi
katanya tidak apa-apa.
Tanah yang berpasir dan tiupan angin membuat mata
perih. Sesekali aku memejamkannya tapi itu tidak membuat hati menjadi tidak
menyenangkan, justru menajdi sensai tersendiri.
Akhirnya aku sampai di anak tangga, dan harus
melewatinya. Dengan nafas terengah-engah akhirnya aku sampai di kawah gunung
Bromo. Mengabadikannya dalam lensa kamera adalah hal yang sangat penting, namun
sayang kamera DSLR yang kami bawa sudah mati dari sejak menyaksikan Sun Rise.
Walaupun dengan menggunakan hp itu tidak menjadi masalah. Disana juga aku dan
Ega berkenalan dengan pengunjung dari Malang dan kami berfoto bersama sekaligus
meminta tolong untuk memfotokan aku dan Ega. Setelah puas kami turun dan menunggangi
kuda kembali.
Kami kembali ke homestay menyusul Nila dan Mahfud
yang sudah duluan kesana. Sesampainya disana aku membersihkan tubuhku dibawah
guyuran air hangat, sungguh menyegarkan.
Setelah dzuhur kami kembali menuju Surabaya, awalnya
mau ke Malang tapi ada sesuatu hal jadi gagal. Aku udah kesel bangt waktu itu,
keinginanku adalah ke Malang. Tapi baiklah mungkin Tuhan belum memberikan
kesempatan bagiku, lain kali aku bisa kesana.
Melewati jalan yang sama tapi jangan harap akan
melewatinya dengan keadaan yang sama. Langit tidak bersahabat, sudah terlihat
begitu gelap. Sepertinya hujan akan segera turun. Dan benar saja tetesan airnya
sudah mulai turun, aku mencari tempat untuk berteduh mengeluarkan jas ujan yang
sudah dipersiapkan. Biar tas gak basah, aku meminta kantong kresek setelah semuanya selesai kami melanjutkan
perjalanan kembali. Hujan semakin besar dan begitupula anginnya sangat
kencang. Aku ketakutan tiba-tiba wajah
mama muncul begitu saja, aku memeluk Ega erat sekali. Dan beristigfar. Tidak
hanya aku, Ega juga merasakan hal yang sama. Kemudian kami memutuskan untuk
berhenti di salah satu tempat makan sambil menunggu hujan reda. Walaupun
menggunakan jas hujan jangan kira baju terhindar dari basah.